Rabu, 27 November 2019

The Traveling Cat Chronicles: Memaknai Perjalanan Hidup dan Persahabatan

The Traveling Cat Chronicles bisa dibilang salah satu buku terbaik yang saya baca di tahun 2019. Diterjemahkan dari Bahasa Jepang dan mengangkat kisah persahabatan antara seorang manusia bernama Satoru, dengan seekor kucing bernama Nana. Ada isu penelantaran anak juga yang diangkat dalam kisahnya.

Kisah ini disampaikan dalam dua sudut pandang: sudut pandang pertama dari Nana sang kucing, dan sudut pandang orang ketiga yang serbatahu. Asyik sekali mengikuti cerita dari sudut pandang Nana, rasanya jadi lebih bisa bersimpati dengan para kucing. Ini buku wajib baca bagi para pencinta kucing.

Rating



Kutipan-kutipan favorit


Hal 6
Mereka itu cuma sejenis monyet besar yang bisa berdiri dan berjalan dengan dua kaki, tapi makhluk bernama manusia ini sombongnya minta ampun.

Hal. 240
Kadang ada juga kucing aneh yang suka mandi, tapi itu hanya terjadi pada kucing yang mengalami mutasi tiba-tiba.

Hal. 241
Lagi pula, kucing hanya mencakar-cakar perabotan di lingkungan yang dia rasa aman, kalau macam penginapan yang hanya dikunjungi sebentar, biasanya jarang muncul keinginan untuk mencakar.

Hal. 252
Aokigahara adalah tempat yang Satoru ceritakan kepadaku saat pergi ke Gunung Fuji. Tempat kompas tidak bekerja sehingga kau akan kehilangan arah.

Hal. 262
Kalau mati, hewan hanya akan tidur di tempat dia ambruk. Namun, kalau sampai harus menyiapkan tempat tidur setelah mati, itu menandakan manusia memang makhluk pencemas dan tidak bebas.

Hal. 265
Ada banyak hal yang tak terelakkan di dunia ini.

Hal. 267
Jadi, kalian ingin tahu apakah kami para kucing itu bisa melihat hantu atau tidak? Itu - kalian tahu? Di dunia ini ada banyak hal yang sebaiknya tetap menjadi misteri saja.


Para pengganggu kenyamanan membaca

Hal-hal berikut ini yang membuat saya urung memberikan 5 bintang kepada The Traveling Cat Chronicles.

Hal. 135
Anak yang tidak merepotkan tidak bisa menjadi paku yang mengeratkan keluarganya.

Menurut saya, kata "paku" dan "mengeratkan" kurang cocok jika disandingkan, meskipun tidak bisa juga disebut keliru. Biasanya kalau untuk sesuatu yang mengeratkan itu, yang pertama muncul di benak adalah lem, selotip, atau ikatan (simpul). Sedangkan paku lebih pantas jika disebut mengukuhkan atau menguatkan.

Hal. 137
Bahkan ketika aku tengah berbicara, bila dia melihat tirai yang bergerak karena tertiup angin, dia akan segera melempar semuanya dan pergi mengejar tirai yang bergerak itu.

Konteksnya:
"Aku" adalah kucing senior, yang sedang mengajari "dia" untuk berburu mangsa.
"Dia" adalah anak kucing yang masih senang bermain.

Ungkapan "melempar semuanya" terasa janggal berada dalam kalimat itu. Saya pikir akan lebih mudah dipahami jika ungkapan yang dipakai adalah "mengalihkan perhatian".

Hal. 138
Dia memang manusia tidak sopan yang seenaknya saja mengangkat dari tengkukku saat pertama kali bertemu.

Itu kata "dari" bisa dihapus saja ngga, sih?

Hal. 148
"Seseorang! Seseorang, hentikan anak-anak itu!"

Coba baca kalimat di atas keras-keras. Ribet, ngga? Dalam situasi genting, orang biasanya akan memilih kata-kata pendek, misalnya: "Tolong! Tolong, hentikan anak-anak itu!" Seseorang = empat suku kata, tolong = dua suku kata. Jelas lebih ringkas kata "tolong".

Hal. 156
Dia membuat wajah yang menakutkan, menundukkan telinganya, menautkan tubuhnya seperti sebuah busur dan meledakkan semua bulu yang ada di tubuh hingga ke ekornya.

Konteksnya adalah deskripsi seekor kucing dalam pose siap bertarung.

Berdasarkan KBBI:
Tunduk (kata kerja) artinya menghadapkan wajah ke bawah, condong ke depan dan ke bawah (tentang kepala).
Jadi kata "tunduk" sepertinya kurang cocok dipadankan dengan "telinga". Mungkin lebih cocok jika disebut "melipat telinga".

Berdasarkan KBBI, menautkan (kata kerja) artinya:
1. menjadikan bertaut; menyambungkan; menutupkan; merapatkan; mengatupkan
2. menggandengkan (tangan)
3. memperhubungkan; mempertalikan; mempertemukan; mempersatukan
4. melekatkan (mengarahkan, memusatkan) pandangan, pikiran, perhatian, dan sebagainya kepada
Dari definisi-definisi tersebut, bisa dipahami bahwa dalam kata "menautkan" ada dua hal yang dijadikan satu (tangan dengan tangan, pandangan dengan sesuatu yang dipandang). Sedangkan dalam kalimat di atas, tubuh ditautkan dengan apa? Tidak ada. Ditambah lagi ujungnya ada "seperti sebuah busur". Makin bingung.
Menurut saya, lebih tepat bila kalimatnya: "melengkungkan tubuh seperti busur".

Yang ketiga ini yang paling aneh: "meledakkan semua bulu".
DOR!
BUM!
Tewas dong kucingnya, meledak?
Saya tidak perlu menyebutkan makna "meledakkan" berdasarkan KBBI ya, sila dicek sendiri. Alih-alih kata "meledakkan", dalam konteks ini menurut saya lebih tepat jika memakai kata "menegakkan".

Hal. 158
... aku tak membencimu, tapi jangan berpikiran buruk tentangku.

Hakikatnya, kata "tapi" digunakan untuk menghubungkan dua anak kalimat yang saling bertentangan. Sedangkan dua anak kalimat di atas menurut saya maknanya tidak bertentangan ... logikanya, kalau tidak ada kebencian maka tidak akan ada pikiran buruk, kan? Hubungan antara dua anak kalimat ini lebih tepat dimaknai sebagai sebab-akibat, seperti ini: "aku tak membencimu, jadi jangan berpikiran buruk tentangku".

Hal. 159
Kau terus terang sekali ya.
Terus terangmu itu masih sama seperti saat kau mengeluarkanku secara paksa dari dalam kandang.

Jadi ingat iklan lampu ... #eh
Terus terang itu bisa dibentuk jadi kata benda dengan menambahkan awal dan akhiran, seperti ini lho: keterusterangan.

Hal. 163
Satoru terus mengucapkan kekesalannya, tapi tak lama kemudian itu segera tertawa.

Mengucapkan kekesalan itu tidak keliru, hanya terasa janggal bagi saya. Lebih enak kalau "mengungkap kekesalan" atau "meluapkan kekesalan" atau "mengucapkan sumpah serapah" atau "mengeluh".

Di anak kalimat kedua, "tak lama kemudian" dan "segera" memiliki makna serupa, jadi sebaiknya pilih salah satu saja agar tidak berlebihan:
... tapi tak lama kemudian, dia tertawa.
atau
... tapi setelah itu dia segera tertawa.

Hal. 194-195
Sebab, berkat kejadian tadi pagi, dia sudah sepenuhnya lupa sepenuhnya dengan apa yang dia pelajari.

Kata "sepenuhnya" pilih salah satu saja ...

Hal. 218
"Ah, sepertinya kalian terlalu banyak minyum, ya."
Satoru menyoba untuk menopang Sugi supaya dia bisa bangkit berdiri ...

Apa karena konteksnya mereka lagi minum-minum, jadi bahasanya kayak orang mabuk begitu ...?

Hal. 239
manusia telah mencipakan sesuatu yang hebat, ya.

Saltik. Seharusnya menciptakan.

Hal. 263
"Aku ingin mengujungi makam ini bersama Nana."

Saltik. Seharusnya mengunjungi.

Hal. 274
... Satoru yang terhenti pernapasannya juga sama denganku.

Kalau pernapasannya terhenti, mati dong? T__T Mungkin lebih tepat kalau pilihan kata-katanya: "sejenak menahan napasnya", atau yang mirip-mirip gitu deh.

Hal. 298
"Sepertinya kau tidak perlu sampai harus mengambil catatan."

Konteksnya:
Satoru sedang menjelaskan tentang kucing kepada bibinya, dan sang bibi mencatat penjelasan Satoru.

Frasa "mengambil catatan" itu tidak salah, hanya agak janggal, apalagi jika muncul dalam dialog. Alaminya, orang akan lebih memilih berkata "mencatat" saja.



Di beberapa halaman ada kata "mini truk". Maksudnya adalah truk yang ukurannya mini. Sepemahaman saya, Bahasa Indonesia menganut aturan DM (diterangkan-menerangkan), sehingga istilah yang tepat seharusnya truk mini, karena kata "truk" diterangkan oleh kata "mini" (sebaliknya, kata "mini" menerangkan kata "truk").

Sebagai tambahan, Bahasa Inggris menganut aturan MD (menerangkan-diterangkan), maka dalam bahasa ini benar ada istilah "mini truck". Mungkin karena orang-orang sudah familier dengan istilah ini, jadi mini truk pun dianggap benar.


Kenapa sih, saya repot-repot menulis semua ini? Apa saya mau sok pintar atau menggurui?
Tidak, itu tidak benar. Penjelasan yang cukup panjang ini justru adalah bukti cinta saya terhadap buku ini. Harapan saya, jika buku ini nanti dicetak ulang, pihak redaksi berkenan memeriksa ulang isi buku ini dan meningkatkan kualitasnya.

Sekian dan terima kasih telah membaca sampai akhir :)

Selasa, 27 Desember 2016

Purple Eyes: Kehangatan Cinta di Musim Dingin

Kapan sih, Mbak Prisca tidak menulis kisah yang manis dan menghangatkan hati?
Meskipun dalam Purple Eyes ini setting tempatnya di Norwegia kala musim dingin, tetap saja kehangatan yang terasa, menyeruak dari interaksi antar tokoh utama.


Sinopsis

(Meminjam dari Goodreads, dan dari blurb di belakang buku)

Ivarr Amundsen kehilangan kemampuannya untuk merasa. Orang yang sangat dia sayangi meninggal dengan cara yang keji, dan dia memilih untuk tidak merasakan apa-apa lagi, menjadi seperti sebongkah patung lilin.

Namun, saat Ivarr bertemu Solveig, perlahan dia bisa merasakan lagi percikan-percikan emosi dalam dirinya. Solveig, gadis yang tiba-tiba masuk dalam kehidupannya. Solveig, gadis yang misterius dan aneh.

Berlatar di Trondheim, Norwegia, kisah ini akan membawamu ke suatu masa yang muram dan bersalju. Namun, cinta akan selalu ada, bahkan di saat-saat tergelap sekalipun



Purple Eyes lebih cocok disebut novella, karena jumlah halamannya sedikit, di bawah 200. Saya bisa selesai membacanya dalam sekali duduk, kemudian merasa hampa...Sudah dapat diduga saat membaca premisnya, sebenarnya.... "Pemuda itu masih hidup, dan gadis itu sudah mati." Mana ada akhir kisah cinta bahagia untuk mereka berdua? Saya pribadi kurang puas dengan konklusi kisahnya, tapi jika dipertimbangkan dari berbagai aspek, mungkin memang itulah yang terbaik.

Meskipun titik beratnya adalah romansa, Purple Eyes juga memiliki aspek misteri dan supranatural. Ada kasus pembunuhan berantai yang disebut-sebut, tapi jangan harap Ivarr, tokoh utamanya akan berlagak seperti Sherlock Holmes dan menyelidiki kasus tersebut, meskipun dia memiliki motif kuat untuk melakukan itu. Karakter Ivarr (sang pemuda) memang cenderung pasif, sesuai dengan deskripsi yang menyebutkan bahwa dia kehilangan kemampuan untuk merasakan emosi, setelah kehilangan adik satu-satunya.

Sementara itu, Solveig (sang gadis) bersifat lebih aktif dan banyak bicara untuk menngimbangi Ivarr. Meskipun sepertinya Solveig bukan tipe orang yang cerewet juga; dia terpaksa karena disuruh atasannya.

Secara keseluruhan, alur kisah Purple Eyes mengalir dan enak dibaca. Saya cuma punya satu ganjalan saja... yakni sewaktu Ivarr dan Solveig pertama kali pergi outing ke museum (kalau tidak salah). Disebutkan bahwa sepanjang perjalanan, Ivarr melihat ke luar jendela. Tapi tidak disebutkan mereka pergi naik apa. Saya jadinya menebak-nebak... mungkin mereka naik kereta? Atau trem (memangnya di Trondheim ada trem)? Atau naik mobil pribadi? Ah, entahlah... hal remeh sebenarnya, tapi jadi mengganggu keasyikan membaca.

Oh iya, Purple Eyes sendiri mengacu pada warna bola mata Ivarr. Ungu, seperti biru, adalah warna 'dingin', jadi cocok sekali dengan latar belakang kisahnya.

 
Karya Mbak Prisca yang harus saya baca berikutnya sepertinya adalah Love Theft, mengingat sang penulis sepertinya sangat mencintai karya yang satu ini hingga bela-belain self-publish ^^


Ulasan buku ini saya sertakan dalam tantangan membaca SEVENEVES nomor 8: buku yang ditulis oleh penulis Indonesia namun berlatar di luar negeri. Seperti yang sudah disebutkan di atas, Purple Eyes berlatar di Trondheim, Norwegia. Mbak Prisca memang sepertinya suka mengambil setting luar negeri dalam novel-novelnya, sebut saja Paris (Prancis) atau Kastil Es dan Air Mancur yang Berdansa (Rusia). Dia menggambarkannya dengan romantis, dan tecermin kegemarannya pada hal-hal yang bernuansa klasik. Deskripsinya akan tempat-tempat tersebut menggoda pembaca untuk bertandang sendiri ke sana.

Dengan ini, beres sudah saya menjawab seluruh tantangan membaca SEVENEVES. Terima kasih sudah mengadakan tantangan ini, Mas Jun dan Mbak Mary :)

Rabu, 21 Desember 2016

Kabut Dalam Cermin

Buku ini sebetulnya telah saya selesaikan sejak akhir Oktober lalu, namun baru saya tuliskan ulasan menyeluruhnya sekarang. Betapa malasnya saya mengisi blog akhir-akhir ini! Tapi saya tidak mau beralasan panjang lebar lah :p All you need to know is... I really really like this book!


Dengan buku ini, saya percaya pada cinta pada pandangan pertama. Begitu melihat penampakannya di Big Bad Wolf Serpong awal tahun 2016 ini, saya langsung memasukkannya ke keranjang. Tidak langsung dibaca, tapi diendapkan dulu selama beberapa bulan, dan baru diambil ketika saya membutuhkan bacaan yang menyeramkan.

The Mist in The Mirror menemani sebagian perjalanan saya ke Ubud, Bali untuk menghadiri acara Writers Festival. Saya benar-benar sendirian, mulai dari pergi, mengikuti berbagai acara di sana, hingga pulang lagi. Jadi, saya rasanya bisa sangat bersimpati pada Sir James Monmouth, tokoh utama dalam novel ini yang dikisahkan selalu mengembara ke berbagai tempat sendirian.

Penampakan

Buku ini formatnya hardcover berjaket, lengkap dengan pita pembatas. Dominasi warna biru tualah yang membuat saya jatuh cinta. Meskipun harcover, buku ini tidak berat, karena jumlah halamannya hanya 184. Bisa dipegang terbuka menggunakan satu tangan (sementara tangan satunya lagi makan...kalau saya sih begitu.. hehe). 


Sir James Monmouth pulang kampung
Sebagai anak yatim piatu, Sir James diasuh oleh sang paman yang membawanya tinggal di salah satu negeri eksotis. Dan setelah sang paman meninggal, Sir James berkelana ke berbagai negeri di dunia, terinspirasi oleh buku-buku travelling karya Conrad Vane.

Setelah puas berkelana, Sir James pun pulang ke kampung halamannya di London, Inggris, yang kebetulan juga merupakan kampung halaman Conrad Vane. Sir James memutuskan untuk menyelidiki masa lalu Vane dan menulis biografi tentangnya. Bukan perkara gampang, karena Sir James tidak punya kerabat, tidak punya kawan. Upayanya dalam menyelidiki Vane selalu dihalang-halangi, dengan alasan yang tidak jelas. Tapi semakin dihalangi, Sir James malah semakin penasaran dan bersemangat.

Bocah pucat penguntit
Hal lain yang meresahkan Sir James adalah penampakan bocah lelaki berwajah pucat yang sepertinya mengikuti Sir James ke mana-mana. Bocah ini muncul dan menghilang sesuka hati, tapi alih-alih merasa takut, Sir James merasa iba. Sepertinya bocah itu menjeritkan permintaan tolong melalui sorot matanya, tapi apa yang bisa Sir James lakukan untuk menolongnya?

Kittiscar Hall
Penelitian Sir James terhadap Conrad Vane akhirnya membawa dia ke Kittiscar Hall, kediaman leluhur Sir James. Ternyata ada hubungan yang tidak terduga antara Vane dan keluarga Monmouth, dan merupakan jawaban mengapa Sir James dihalang-halangi untuk menelitinya. Mungkinkah semua sudah terlambat dan Sir James harus menemui ajalnya di tempat ini?


Impresi

Ini buku Susan Hill kedua yang saya baca. Buku pertamanya adalah The Woman in Black, yang bagian akhirnya sukses mencabik-cabik hati saya. Nah, dengan bahagia bisa saya katakan bahwa The Mist in The Mirror tidak memiliki dampak seperti itu, tapi bukan berarti tidak ada dampak lain yang mencengkeram saya. Sepanjang cerita atmosfer sunyi, sepi, sendiri... begitu pekat. Dari deskripsi tempat dan keadaan, serta penuturan apa yang dipikirkan dan dirasakan Sir James Monmouth. Gaya narasinya mirip novel-novel klasik yang pernah saya baca; cukup panjang dan detail. Untuk para pembaca yang lebih menyukai kisah-kisah sarat aksi dan beralur cepat, saya tidak akan merekomendasikan buku ini. Mungkin kalian akan bosan dan tertidur.

Namun kawan-kawan yang menyukai karya klasik dan kisah-kisah mencekam, cobalah baca buku ini. Lebih terasa lagi atmosfernya jika dibaca di malam yang dingin, sembari bergelung dibalut selimut, ditemani segelas minuman panas. Selamat merinding :)



Saya menulis ulasan buku ini untuk menggenapi tantangan membaca SEVENEVES nomor 3: buku dengan setting tempat/waktu yang kamu suka.


Ada beberapa setting tempat/waktu yang saya suka, di antaranya Korea Selatan zaman dulu (gara-gara nonton historical drama Korea), Jepang (gara-gara suka baca manga), Portland (setting yang dipakai di film seri kesukaan saya, Grimm, juga dipakai di serial novel favorit saya. Charlie Parker Sequence, dan trilogi Wildwood), dan juga... London.

Dalam The Mist in The Mirror, setting-nya adalah London zaman dulu... saya membayangkannya zaman Victoria. Susan Hill menggambarkan setting dengan detail dan sangat baik. Ketika Sir James berjalan-jalan sendiri tengah malam (kurang kerjaan banget ya? Ceritanya dia tidak bisa tidur) di jalanan London yang sepi dan mencekam, saya ikut waswas khawatir sesuatu yang buruk akan menimpanya. Tempat ini sangat cocok untuk penampakan hantu.

Kemudian, ketika Sir James bekerja di perpustakaan tua... saya merinding membayangkan suatu sosok misterius melintas di antara rak-rak buku. Sir James terus-terusan menoleh ke balik bahunya, karena merasa ada yang mengawasi dia, padahal dia hanya sendirian di perpustakaan itu.



Novel-novel favorit saya lainnya yang mengambil setting di London adalah Neverwhere karya Neil Gaiman, atau Bartimaeus trilogy dan serial Lockwood & Co. karya Jonathan Stroud.

Selasa, 04 Oktober 2016

Miss Peregrine's Home for Peculiar Children

pe·cu·liar
/pəˈkyo͞olyər/
adjective
1. strange or odd; unusual.  
2. belonging exclusively to. 


Orang-orang lagi cukup seru bahas buku ini ya (di Goodreads, di Instagram), soalnya adaptasi filmnya baru saja rilis nih. Saya jadi tergelitik untuk ikut angkat suara (padahal cuma ingin curhat saja sih... :p)


Sekilas trilogi ini

Miss Peregrine's Home for Peculiar Children adalah buku pertama dari serial yang berjudul sama. Buku keduanya berjudul Hollow City, dan buku ketiganya berjudul Library of Souls. Penulisnya adalah Ransom Riggs, pria yang suka kisah-kisah horor.

Bagaimana saya berjodoh dengan trilogi ini

Yah, Goodreads yang merekomendasikannya, berdasarkan buku-buku yang sudah saya baca dan tandai di situs tersebut. Kabarnya buku ini berisi banyak foto-foto vintage, dan saya cukup suka dengan atmosfernya yang tampak mencekam.

Jujur, buku pertama tidak membuat saya terkesan, jadi ketika buku dua keluar, saya membelinya untuk kemudian menumpuknya begitu saja, tidak langsung dibaca. Hingga buku ketiga keluar, saya masih belum membaca buku dua. Saya juga menunda-nunda beli buku ketiga...sampai akhirnya malah dibelikan oleh salah seorang teman... :'>

Bulan lalu, saya putuskan untuk segera menyelesaikan membaca buku dua dan tiga, terutama karena adaptasi filmnya akan segera rilis. Untungnya semangat membaca saya sedang tinggi, dan kisah buku dua dan tiga lebih seru dari buku pertama, jadi saya bisa selesai membaca dalam kurun waktu cukup singkat.

Sinopsis

Jacob Portman. Pemuda yang kesehatan mentalnya terganggu semenjak kematian kakeknya, Abe. Mengikuti wasiat terakhir sang kakek, Jacob pergi ke suatu pulau terpencil. Di sana dia menemukan sebuah rumah yang separuh hancur karena dibom saat Perang Dunia. Melalui serangkaian eksplorasi, Jacob menemukan portal ke sebuah lingkaran waktu (time loop), di mana rumah yang seharusnya sudah hancur itu menjadi suaka bagi sekelompok anak berkemampuan super. Suaka itu berada di bawah perlindungan Miss Peregrine, seorang ymbryne, wanita yang bisa memanipulasi waktu.

Alma LeFay Peregrine | http://thepeculiarchildren.wikia.com

Banyak loop tersebar di seluruh dunia, dan masing-masing loop dilindungi oleh seorang ymbryne. Anak-anak berkemampuan super yang tinggal di dalam loop disebut sebagai peculiar. Mereka memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Dan mengapa mereka tinggal di dalam loop? Itu karena mereka diburu oleh makhluk-makhluk kegelapan yang disebut hollowgast, yang ingin menyantap jiwa mereka. Hollow itu sesungguhnya tak kasatmata... tapi kejutan! Ternyata Jacob memiliki kemampuan khusus untuk dapat melihat para hollow--suatu kemampuan yang dia warisi dari sang kakek.

Para hollow yang telah menyantap cukup banyak jiwa peculiar akan berevolusi (*kau pikir monster Pokemon heh) menjadi wight. Hollow tidak bisa masuk ke dalam loop, tapi wight bisa. Dan para wight-lah yang kemudian menyerang loop-loop dan menculik ymbryne-ymbryne, termasuk Miss Peregrine. Anak-anak Miss Peregrine bisa selamat dari pembantaian berkat Jacob, dan kini mereka mencari cara untuk membebaskan Miss Peregrine dari para penculiknya.

Kesan-kesan

Yah, awalnya saya kira ini kisah horor, yang benchmark-nya mungkin... Asylum (Madeleine Roux). Tapi ternyata saya salah... huh... sangat salah. Separuh awal kisah mungkin memang AGAK mencekam, tapi begitu Jacob bertemu para peculiar... wah, atmosfernya jadi mirip X-Men.

Kecewa? Yah... sedikit. Tapi saya tetap bisa menikmati kisahnya yang cukup seru. Dan untung saja saya tidak menyerah dan berhenti membaca trilogi ini, karena buku dua dan tiganya jauh lebih seru.

Peculiar favorit? Nomor satu tentu saja Althea! Dia muncul di buku dua.... dan sungguh, kekuatan seperti yang dia miliki-lah yang saya inginkan. Favorit nomor dua adalah Jacob. Jika kamu pikir kemampuannya hanya sekadar dapat melihat hollow, itu salah. Kemampuan Jacob yang sesungguhnya baru muncul di buku tiga (Ransom Riggs boleh juga caranya mengungkapkan perlahan-lahan soal ini) dan kemampuannya itu sungguh keren!

Althea | http://thepeculiarchildren.wikia.com
Jacob versi gravel | www.fandompost.com

Nah, soal akhir ceritanya, saya kurang suka, karena Jacob terkesan plin plan luar biasa. Atau ini sebenarnya penulis bukunya yang plin plan? Seolah-olah dia memikirkan ending A, lalu di tengah jalan memutuskan ending B lebih OK, lalu di tengah jalan kembali lagi ke ending A. What the...?

Oh iya, satu hal lagi...karena di sela-sela cerita suka ada foto-foto vintage nyelip, yang fungsinya sebagai ilustrasi dari apa yang sedang diceritakan, terkadang saya merasa ada deskripsi cerita yang terkesan diada-adakan hanya supaya bisa sesuai dengan foto. Padahal sebenarnya jika deskripsi itu tidak disertakan juga tidak mempengaruhi alur utama ceritanya.

Bagaimana dengan filmnya?

Saya tidak tahu! Karena saya belum menontonnya... hehehe. Tapi saya sudah melihat trailer-nya, dan seperti beberapa orang yang sudah membaca bukunya, saya kecewa dengan kemampuan Emma dan Olive yang ditukar. Di bukunya, Emma memiliki kemampuan untuk menciptakan api, sedangkan Olive memiliki bobot yang amat ringan sehingga dia harus mengenakan sepatu yang sangat berat agar bisa tetap menjejak tanah. Terlebih lagi, di filmnya Olive digambarkan lebih tua daripada di bukunya (mungkin agak mencemaskan ya, jika anak kecil diperlihatkan bermain-main dengan api). Olive itu yang muncul di sampul depan buku pertama loh!

Emma Bloom | http://thepeculiarchildren.wikia.com

Awalnya saya sangat antusias ingin menonton filmnya, karena disutradarai oleh salah satu sutradara favorit saya, Tim Burton. Tapi sekarang saya tidak terlalu bersemangat hendak menontonnya.. mungkin nanti, jika saya memang jadi menonton Miss Peregrine's Home for Peculiar Children, saya akan membahasnya dalam artikel terpisah. Until then, ciao!


Ulasan buku ini saya sertakan dalam tantangan membaca SEVENEVES nomor 5: Buku yang telah diadaptasi ke dalam film atau series, meskipun dua buku sekuelnya belum ada filmnya.

Senin, 19 September 2016

Battle Royale

Pikiran yang pertama muncul dalam benak saya ketika mendengar kata Battle Royale adalah... apakah istilah itu maknanya sama dengan Royal Rumble?

Anyway. Battle Royale yang hendak saya bahas saat ini adalah sebuah novel karya Koushun Takami. Ini novel Jepang yang pertama kali terbit tahun 1999. Novel debut ini, meskipun lumayan kontroversial, laris manis di pasaran, hingga diadaptasi ke format manga dan film layar lebar. Filmnya rilis pada tahun 2000.

Saya sudah terlebih dulu menonton filmnya bertahun-tahun yang lalu sebelum akhirnya sekarang membaca novelnya. Bulan lalu, novel Battle Royale (BR) sempat heboh dibahas di grup PNFI, dan karena Cypress Ruby sangat merekomendasikannya, saya pun jadi penasaran... karena selera kami seringkali serupa.


Saya membeli BR di Periplus online, versi baru terjemahan Bahasa Inggris-nya, dan ketika bukunya tiba, tadinya saya tidak berniat untuk langsung membacanya--agak malas juga melihat jumlah halamannya yang lebih dari 600. Namun, Greeny Onie menularkan semangatnya untuk segera membaca BR. Walhasil kami baca bareng, dan kecepatan baca Onie yang luar biasa membuat saya tercengang dan susah payah menyusulnya :))

Kalau begitu kenapa harus baca bareng? Ya supaya bisa membahasnya dengan seru dong!

Onie bilang ini buku SIAL, begitu mulai baca, sulit untuk dilepaskan. Di pun menumpahkan unek-uneknya di Blog Aksara. Silakan baca kalau kawan-kawan tidak keberatan dengan spoiler.

Jadi... seseru apa sih BR?

Sinopsis

Suatu masa di suatu tempat yang mirip Jepang, pemerintah menyelenggarakan sebuah program yang disebut Battle Royale. Program ini dilangsungkan berkala, dengan partisipan yang dipilih secara acak dari seantero negeri. Partisipannya adalah murid-murid kelas 9 (usia sekitar 15 tahun). Dalam program ini, mereka diharuskan saling bunuh hingga tersisa satu orang pemenang.

Pada program BR kali ini, kelas yang terpilih adalah Kelas B Shiroiwa Junior High School. Muridnya berjumlah 42 orang; 21 laki-laki dan 21 perempuan. Mereka sedang dalam perjalanan study tour ketika bis yang mereka naiki diberi gas tidur. Saat terbangun, mereka sudah berada di sebuah pulau kosong yang khusus disiapkan sebagai arena BR.

Kaget. Syok. Takut.
Apa yang anak-anak itu rasakan tidak cukup dideskripsikan dengan kata-kata. Bagaimana bisa? Bagaimana perasaanmu jika diharuskan membunuh sahabatmu sendiri, atau kekasihmu sendiri?

Mau mencoba kabur?
Tidak bisa, setiap anak dipasangi alat mirip kalung choker di leher mereka, yang fungsinya melacak posisi dan kondisi vital. Tidak hanya itu, choker tersebut dilengkapi bom yang bisa meledak jika pemakainya memasuki zona terlarang. Jika dalam waktu 24 jam tidak ada yang mati, semua choker akan meledak, dan tidak ada pemenang. Sejumlah tentara bersenjata mengawasi berjalannya program BR. Di keempat penjuru mata angin bersiap kapal yang akan menembak siapa saja yang mencoba kabur lewat laut.

Setiap anak diberi tas yang berisi senjata dan perbekalan (air minum dan roti) untuk dua hari. Senjatanya bervariasi, dan dibagikan secara acak. Jika beruntung, bisa dapat senjata api. Kalau tidak beruntung, bisa dapat pedang karatan.

Pokoknya, anak-anak remaja ini benar-benar dipaksa untuk saling bunuh.

24 players, 1 winner.
Place your bet.
Let the game begins...

fanart

Tokoh-tokoh

Shuya Nanahara (M15)

Tokoh utama buku ini. Memiliki hati pemberontak, tapi bersifat lembek dan naif. Pemberontakan yang dia lakukan hanya sebatas mendengarkan dan memainkan musik rock yang saat itu dilarang. Shuya anak yatim piatu dan tinggal di panti asuhan, di mana dia bertemu dan bersahabat dengan Yoshitoki Kuninobu (M7). Sebelum berkecimpung di dunia musik, Shuya adalah atlet bisbol andalan. Dia lincah, larinya cepat dan lemparannya akurat.



Noriko Nakagawa (F15)
Siswi yang pandai menulis puisi. Shuya bertekad untuk melindungi Noriko karena Yoshitoki naksir gadis ini. terlihat jelas Noriko sebenarnya naksir Shuya, tapi Shuya terlalu bebal untuk menyadarinya. Noriko dari luar terlihat lembek, tapi dia sebenarnya bermental kuat, tidak mudah mengeluh, dan akan melakukan apa yang harus dilakukan untuk bertahan hidup.


Shogo Kawada (M5)
Siswa misterius yang perawakan dan tampangnya sangar. Dia siswa pindahan yang tinggal kelas satu tahun, katanya gara-gara lama dirawat di rumah sakit. Penampakannya yang mirip preman membuat anak-anak lainnya tidak berani mendekati dia. Namun Shuya, yang pernah sedikit mengobrol dengan Shogo, menilai dia orang baik.

Kazuo Kiriyama (M6)
Siswa dengan penampilan, kepandaian, dan kelihaian tingkat tinggi yang menjadi ketua genk anak nakal hanya karena dia pikir itu hal yang menarik. Kazuo memiliki segalanya kecuali emosi. Dengan raut wajah datar dan sorot mata dingin, dia akan mengambil keputusan secara acak, salah satunya keputusan untuk berpartisipasi aktif dalam program BR.

Mitsuko Souma (F11)
Gadis cantik yang cocok jadi aktris watak. Dia bisa mengeluarkan air mata kapan saja dia mau, dan memasang tampang polos untuk memperdaya orang lain. Setelah mendapatkan kepercayaan seseorang, Mitsuko tidak akan berpikir dua kali untuk berkhianat dan menghabisi orang tersebut.

Takako Chigusa (F13)
Atlet lari ini satu-satunya gadis yang kecantikannya dapat menandingi kecantikan Mitsuko. Takako berpendirian kuat dan bersifat keras. Dia diam-diam naksir sahabatnya sejak kecil, tapi terlalu arogan untuk mengakuinya.

Hiroki Sugimura (M11)
Sahabat sejak kecil Takako. Orangnya pendiam dan jago beladiri kempo. Dia pernah naksir Takako, tapi merasa rendah diri dan berpikir gadis itu standarnya terlalu tinggi.

Shinji Mimura (M19)
Siswa playboy yang pernah menjadi atlet bola basket andalan. Dia berkawan baik dengan Shuya. Meskipun sikapnya cuek dan santai, sebenarnya dia memendam kebencian mendalam terhadap pemerintah. Dia juga cerdas dan jago komputer.

Kedelapan siswa-siswi ini mendapat porsi cerita yang cukup besar dalam Battle Royale, sedangkan ke-34 siswa lainnya hanya mendapatkan porsi kecil, tapi tetap diceritakan latar belakangnya.

Fanart by Akamatsu Yoshio

Kesan

Secara keseluruhan, saya memberi buku ini rating 4 bintang.


Berhubung saya sudah menonton filmnya, saya jadi sudah lebih dulu tahu jalan besar ceritanya, siapa saja yang mati, dengan cara mati seperti apa. Tidak ada lagi kejutan. Tapi tetap saya cukup terkesan dengan detail dan cara cerita disampaikan. Emosi dan chemistry antar tokoh terasa, bahkan di beberapa bagian terkesan berlebihan alias lebay.

Kelas B Shiroiwa High School

Adaptasi Film

Seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya, adaptasi film BR rilis tahun 2000, tidak beda jauh dengan waktu perilisan bukunya. Film BR cukup setia terhadap bukunya, dengan beberapa detail yang dihilangkan (masuk akal, mengingat keterbatasan durasi film) dan beberapa detail yang berbeda, yang sepertinya bertujuan untuk membuat filmnya lebih dramatis (dan konyol). Misalnya, di versi buku Shuya mendapat senjata berupa pisau, sedangkan di versi film dia mendapat... tutup panci!


Satu perbedaan yang cukup besar adalah pada tokoh pengawas program BR saat cerita ini berlangsung. Di versi buku, pengawasnya adalah pria vulgar nan menyebalkan bernama Sakamochi, sedangkan di versi film, yang menjadi pengawas adalah Kitano yang diperankan oleh Beat Takeshi. Kitano adalah mantan wali kelas B Shiroiwa Junior High School. Dia sering diremehkan oleh murid-muridnya (kecuali Noriko), sehingga dia mendendam.


Saya bertanya-tanya mengapa tokoh yang seharusnya ditakuti ini malah diperankan oleh Beat Takeshi yang seorang komedian? Kan saya jadi tertawa-tawa setiap kali melihat wajahnya, karena teringat acara kompetisi Benteng Takeshi... hahaha.

Mungkin Koushun Takami nge-fans atau berhubungan baik dengan Beat Takeshi. Di bagian belakang buku, Koushun menjawab beberapa pertanyaan dari penerbit, dan dalam salah satu jawabannya dia menyebut-nyebut nama Beat Takeshi. Ucapan Beat Takeshi tentang Jepang yang dia anggap sebagai negeri dengan "successful socialism" menginspirasi Koushun untuk membuat kisah berlatar belakang negeri dengan "successful facism."

Akhir kata, saya merekomendasikan buku Battle Royale untuk dibaca sebelum menonton filmnya. Dengan demikian, keseruan dan ketegangannya akan lebih terasa.

If only these four guys can team up...

Battle Royale saya ikutkan dalam tantangan membaca SEVENEVES no.12: buku bantal dengan ketebalan min. 500 hal. Buku ini tepatnya berjumlah 647 halaman. Tadinya saya hendak membaca Abarat: Absolute Midnight untuk menggenapi kategori ini, tapi ternyata lebih dulu baca Battle Royale :) Kalau mau tahu lebih banyak tentang SEVENEVES, bisa lihat tulisannya Mas Jun, tulisannya Mbak Mary, atau master post saya, siapa tahu jadi tertarik untuk ikutan juga.