Selasa, 27 Desember 2016

Purple Eyes: Kehangatan Cinta di Musim Dingin

Kapan sih, Mbak Prisca tidak menulis kisah yang manis dan menghangatkan hati?
Meskipun dalam Purple Eyes ini setting tempatnya di Norwegia kala musim dingin, tetap saja kehangatan yang terasa, menyeruak dari interaksi antar tokoh utama.


Sinopsis

(Meminjam dari Goodreads, dan dari blurb di belakang buku)

Ivarr Amundsen kehilangan kemampuannya untuk merasa. Orang yang sangat dia sayangi meninggal dengan cara yang keji, dan dia memilih untuk tidak merasakan apa-apa lagi, menjadi seperti sebongkah patung lilin.

Namun, saat Ivarr bertemu Solveig, perlahan dia bisa merasakan lagi percikan-percikan emosi dalam dirinya. Solveig, gadis yang tiba-tiba masuk dalam kehidupannya. Solveig, gadis yang misterius dan aneh.

Berlatar di Trondheim, Norwegia, kisah ini akan membawamu ke suatu masa yang muram dan bersalju. Namun, cinta akan selalu ada, bahkan di saat-saat tergelap sekalipun



Purple Eyes lebih cocok disebut novella, karena jumlah halamannya sedikit, di bawah 200. Saya bisa selesai membacanya dalam sekali duduk, kemudian merasa hampa...Sudah dapat diduga saat membaca premisnya, sebenarnya.... "Pemuda itu masih hidup, dan gadis itu sudah mati." Mana ada akhir kisah cinta bahagia untuk mereka berdua? Saya pribadi kurang puas dengan konklusi kisahnya, tapi jika dipertimbangkan dari berbagai aspek, mungkin memang itulah yang terbaik.

Meskipun titik beratnya adalah romansa, Purple Eyes juga memiliki aspek misteri dan supranatural. Ada kasus pembunuhan berantai yang disebut-sebut, tapi jangan harap Ivarr, tokoh utamanya akan berlagak seperti Sherlock Holmes dan menyelidiki kasus tersebut, meskipun dia memiliki motif kuat untuk melakukan itu. Karakter Ivarr (sang pemuda) memang cenderung pasif, sesuai dengan deskripsi yang menyebutkan bahwa dia kehilangan kemampuan untuk merasakan emosi, setelah kehilangan adik satu-satunya.

Sementara itu, Solveig (sang gadis) bersifat lebih aktif dan banyak bicara untuk menngimbangi Ivarr. Meskipun sepertinya Solveig bukan tipe orang yang cerewet juga; dia terpaksa karena disuruh atasannya.

Secara keseluruhan, alur kisah Purple Eyes mengalir dan enak dibaca. Saya cuma punya satu ganjalan saja... yakni sewaktu Ivarr dan Solveig pertama kali pergi outing ke museum (kalau tidak salah). Disebutkan bahwa sepanjang perjalanan, Ivarr melihat ke luar jendela. Tapi tidak disebutkan mereka pergi naik apa. Saya jadinya menebak-nebak... mungkin mereka naik kereta? Atau trem (memangnya di Trondheim ada trem)? Atau naik mobil pribadi? Ah, entahlah... hal remeh sebenarnya, tapi jadi mengganggu keasyikan membaca.

Oh iya, Purple Eyes sendiri mengacu pada warna bola mata Ivarr. Ungu, seperti biru, adalah warna 'dingin', jadi cocok sekali dengan latar belakang kisahnya.

 
Karya Mbak Prisca yang harus saya baca berikutnya sepertinya adalah Love Theft, mengingat sang penulis sepertinya sangat mencintai karya yang satu ini hingga bela-belain self-publish ^^


Ulasan buku ini saya sertakan dalam tantangan membaca SEVENEVES nomor 8: buku yang ditulis oleh penulis Indonesia namun berlatar di luar negeri. Seperti yang sudah disebutkan di atas, Purple Eyes berlatar di Trondheim, Norwegia. Mbak Prisca memang sepertinya suka mengambil setting luar negeri dalam novel-novelnya, sebut saja Paris (Prancis) atau Kastil Es dan Air Mancur yang Berdansa (Rusia). Dia menggambarkannya dengan romantis, dan tecermin kegemarannya pada hal-hal yang bernuansa klasik. Deskripsinya akan tempat-tempat tersebut menggoda pembaca untuk bertandang sendiri ke sana.

Dengan ini, beres sudah saya menjawab seluruh tantangan membaca SEVENEVES. Terima kasih sudah mengadakan tantangan ini, Mas Jun dan Mbak Mary :)

Rabu, 21 Desember 2016

Kabut Dalam Cermin

Buku ini sebetulnya telah saya selesaikan sejak akhir Oktober lalu, namun baru saya tuliskan ulasan menyeluruhnya sekarang. Betapa malasnya saya mengisi blog akhir-akhir ini! Tapi saya tidak mau beralasan panjang lebar lah :p All you need to know is... I really really like this book!


Dengan buku ini, saya percaya pada cinta pada pandangan pertama. Begitu melihat penampakannya di Big Bad Wolf Serpong awal tahun 2016 ini, saya langsung memasukkannya ke keranjang. Tidak langsung dibaca, tapi diendapkan dulu selama beberapa bulan, dan baru diambil ketika saya membutuhkan bacaan yang menyeramkan.

The Mist in The Mirror menemani sebagian perjalanan saya ke Ubud, Bali untuk menghadiri acara Writers Festival. Saya benar-benar sendirian, mulai dari pergi, mengikuti berbagai acara di sana, hingga pulang lagi. Jadi, saya rasanya bisa sangat bersimpati pada Sir James Monmouth, tokoh utama dalam novel ini yang dikisahkan selalu mengembara ke berbagai tempat sendirian.

Penampakan

Buku ini formatnya hardcover berjaket, lengkap dengan pita pembatas. Dominasi warna biru tualah yang membuat saya jatuh cinta. Meskipun harcover, buku ini tidak berat, karena jumlah halamannya hanya 184. Bisa dipegang terbuka menggunakan satu tangan (sementara tangan satunya lagi makan...kalau saya sih begitu.. hehe). 


Sir James Monmouth pulang kampung
Sebagai anak yatim piatu, Sir James diasuh oleh sang paman yang membawanya tinggal di salah satu negeri eksotis. Dan setelah sang paman meninggal, Sir James berkelana ke berbagai negeri di dunia, terinspirasi oleh buku-buku travelling karya Conrad Vane.

Setelah puas berkelana, Sir James pun pulang ke kampung halamannya di London, Inggris, yang kebetulan juga merupakan kampung halaman Conrad Vane. Sir James memutuskan untuk menyelidiki masa lalu Vane dan menulis biografi tentangnya. Bukan perkara gampang, karena Sir James tidak punya kerabat, tidak punya kawan. Upayanya dalam menyelidiki Vane selalu dihalang-halangi, dengan alasan yang tidak jelas. Tapi semakin dihalangi, Sir James malah semakin penasaran dan bersemangat.

Bocah pucat penguntit
Hal lain yang meresahkan Sir James adalah penampakan bocah lelaki berwajah pucat yang sepertinya mengikuti Sir James ke mana-mana. Bocah ini muncul dan menghilang sesuka hati, tapi alih-alih merasa takut, Sir James merasa iba. Sepertinya bocah itu menjeritkan permintaan tolong melalui sorot matanya, tapi apa yang bisa Sir James lakukan untuk menolongnya?

Kittiscar Hall
Penelitian Sir James terhadap Conrad Vane akhirnya membawa dia ke Kittiscar Hall, kediaman leluhur Sir James. Ternyata ada hubungan yang tidak terduga antara Vane dan keluarga Monmouth, dan merupakan jawaban mengapa Sir James dihalang-halangi untuk menelitinya. Mungkinkah semua sudah terlambat dan Sir James harus menemui ajalnya di tempat ini?


Impresi

Ini buku Susan Hill kedua yang saya baca. Buku pertamanya adalah The Woman in Black, yang bagian akhirnya sukses mencabik-cabik hati saya. Nah, dengan bahagia bisa saya katakan bahwa The Mist in The Mirror tidak memiliki dampak seperti itu, tapi bukan berarti tidak ada dampak lain yang mencengkeram saya. Sepanjang cerita atmosfer sunyi, sepi, sendiri... begitu pekat. Dari deskripsi tempat dan keadaan, serta penuturan apa yang dipikirkan dan dirasakan Sir James Monmouth. Gaya narasinya mirip novel-novel klasik yang pernah saya baca; cukup panjang dan detail. Untuk para pembaca yang lebih menyukai kisah-kisah sarat aksi dan beralur cepat, saya tidak akan merekomendasikan buku ini. Mungkin kalian akan bosan dan tertidur.

Namun kawan-kawan yang menyukai karya klasik dan kisah-kisah mencekam, cobalah baca buku ini. Lebih terasa lagi atmosfernya jika dibaca di malam yang dingin, sembari bergelung dibalut selimut, ditemani segelas minuman panas. Selamat merinding :)



Saya menulis ulasan buku ini untuk menggenapi tantangan membaca SEVENEVES nomor 3: buku dengan setting tempat/waktu yang kamu suka.


Ada beberapa setting tempat/waktu yang saya suka, di antaranya Korea Selatan zaman dulu (gara-gara nonton historical drama Korea), Jepang (gara-gara suka baca manga), Portland (setting yang dipakai di film seri kesukaan saya, Grimm, juga dipakai di serial novel favorit saya. Charlie Parker Sequence, dan trilogi Wildwood), dan juga... London.

Dalam The Mist in The Mirror, setting-nya adalah London zaman dulu... saya membayangkannya zaman Victoria. Susan Hill menggambarkan setting dengan detail dan sangat baik. Ketika Sir James berjalan-jalan sendiri tengah malam (kurang kerjaan banget ya? Ceritanya dia tidak bisa tidur) di jalanan London yang sepi dan mencekam, saya ikut waswas khawatir sesuatu yang buruk akan menimpanya. Tempat ini sangat cocok untuk penampakan hantu.

Kemudian, ketika Sir James bekerja di perpustakaan tua... saya merinding membayangkan suatu sosok misterius melintas di antara rak-rak buku. Sir James terus-terusan menoleh ke balik bahunya, karena merasa ada yang mengawasi dia, padahal dia hanya sendirian di perpustakaan itu.



Novel-novel favorit saya lainnya yang mengambil setting di London adalah Neverwhere karya Neil Gaiman, atau Bartimaeus trilogy dan serial Lockwood & Co. karya Jonathan Stroud.

Selasa, 04 Oktober 2016

Miss Peregrine's Home for Peculiar Children

pe·cu·liar
/pəˈkyo͞olyər/
adjective
1. strange or odd; unusual.  
2. belonging exclusively to. 


Orang-orang lagi cukup seru bahas buku ini ya (di Goodreads, di Instagram), soalnya adaptasi filmnya baru saja rilis nih. Saya jadi tergelitik untuk ikut angkat suara (padahal cuma ingin curhat saja sih... :p)


Sekilas trilogi ini

Miss Peregrine's Home for Peculiar Children adalah buku pertama dari serial yang berjudul sama. Buku keduanya berjudul Hollow City, dan buku ketiganya berjudul Library of Souls. Penulisnya adalah Ransom Riggs, pria yang suka kisah-kisah horor.

Bagaimana saya berjodoh dengan trilogi ini

Yah, Goodreads yang merekomendasikannya, berdasarkan buku-buku yang sudah saya baca dan tandai di situs tersebut. Kabarnya buku ini berisi banyak foto-foto vintage, dan saya cukup suka dengan atmosfernya yang tampak mencekam.

Jujur, buku pertama tidak membuat saya terkesan, jadi ketika buku dua keluar, saya membelinya untuk kemudian menumpuknya begitu saja, tidak langsung dibaca. Hingga buku ketiga keluar, saya masih belum membaca buku dua. Saya juga menunda-nunda beli buku ketiga...sampai akhirnya malah dibelikan oleh salah seorang teman... :'>

Bulan lalu, saya putuskan untuk segera menyelesaikan membaca buku dua dan tiga, terutama karena adaptasi filmnya akan segera rilis. Untungnya semangat membaca saya sedang tinggi, dan kisah buku dua dan tiga lebih seru dari buku pertama, jadi saya bisa selesai membaca dalam kurun waktu cukup singkat.

Sinopsis

Jacob Portman. Pemuda yang kesehatan mentalnya terganggu semenjak kematian kakeknya, Abe. Mengikuti wasiat terakhir sang kakek, Jacob pergi ke suatu pulau terpencil. Di sana dia menemukan sebuah rumah yang separuh hancur karena dibom saat Perang Dunia. Melalui serangkaian eksplorasi, Jacob menemukan portal ke sebuah lingkaran waktu (time loop), di mana rumah yang seharusnya sudah hancur itu menjadi suaka bagi sekelompok anak berkemampuan super. Suaka itu berada di bawah perlindungan Miss Peregrine, seorang ymbryne, wanita yang bisa memanipulasi waktu.

Alma LeFay Peregrine | http://thepeculiarchildren.wikia.com

Banyak loop tersebar di seluruh dunia, dan masing-masing loop dilindungi oleh seorang ymbryne. Anak-anak berkemampuan super yang tinggal di dalam loop disebut sebagai peculiar. Mereka memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Dan mengapa mereka tinggal di dalam loop? Itu karena mereka diburu oleh makhluk-makhluk kegelapan yang disebut hollowgast, yang ingin menyantap jiwa mereka. Hollow itu sesungguhnya tak kasatmata... tapi kejutan! Ternyata Jacob memiliki kemampuan khusus untuk dapat melihat para hollow--suatu kemampuan yang dia warisi dari sang kakek.

Para hollow yang telah menyantap cukup banyak jiwa peculiar akan berevolusi (*kau pikir monster Pokemon heh) menjadi wight. Hollow tidak bisa masuk ke dalam loop, tapi wight bisa. Dan para wight-lah yang kemudian menyerang loop-loop dan menculik ymbryne-ymbryne, termasuk Miss Peregrine. Anak-anak Miss Peregrine bisa selamat dari pembantaian berkat Jacob, dan kini mereka mencari cara untuk membebaskan Miss Peregrine dari para penculiknya.

Kesan-kesan

Yah, awalnya saya kira ini kisah horor, yang benchmark-nya mungkin... Asylum (Madeleine Roux). Tapi ternyata saya salah... huh... sangat salah. Separuh awal kisah mungkin memang AGAK mencekam, tapi begitu Jacob bertemu para peculiar... wah, atmosfernya jadi mirip X-Men.

Kecewa? Yah... sedikit. Tapi saya tetap bisa menikmati kisahnya yang cukup seru. Dan untung saja saya tidak menyerah dan berhenti membaca trilogi ini, karena buku dua dan tiganya jauh lebih seru.

Peculiar favorit? Nomor satu tentu saja Althea! Dia muncul di buku dua.... dan sungguh, kekuatan seperti yang dia miliki-lah yang saya inginkan. Favorit nomor dua adalah Jacob. Jika kamu pikir kemampuannya hanya sekadar dapat melihat hollow, itu salah. Kemampuan Jacob yang sesungguhnya baru muncul di buku tiga (Ransom Riggs boleh juga caranya mengungkapkan perlahan-lahan soal ini) dan kemampuannya itu sungguh keren!

Althea | http://thepeculiarchildren.wikia.com
Jacob versi gravel | www.fandompost.com

Nah, soal akhir ceritanya, saya kurang suka, karena Jacob terkesan plin plan luar biasa. Atau ini sebenarnya penulis bukunya yang plin plan? Seolah-olah dia memikirkan ending A, lalu di tengah jalan memutuskan ending B lebih OK, lalu di tengah jalan kembali lagi ke ending A. What the...?

Oh iya, satu hal lagi...karena di sela-sela cerita suka ada foto-foto vintage nyelip, yang fungsinya sebagai ilustrasi dari apa yang sedang diceritakan, terkadang saya merasa ada deskripsi cerita yang terkesan diada-adakan hanya supaya bisa sesuai dengan foto. Padahal sebenarnya jika deskripsi itu tidak disertakan juga tidak mempengaruhi alur utama ceritanya.

Bagaimana dengan filmnya?

Saya tidak tahu! Karena saya belum menontonnya... hehehe. Tapi saya sudah melihat trailer-nya, dan seperti beberapa orang yang sudah membaca bukunya, saya kecewa dengan kemampuan Emma dan Olive yang ditukar. Di bukunya, Emma memiliki kemampuan untuk menciptakan api, sedangkan Olive memiliki bobot yang amat ringan sehingga dia harus mengenakan sepatu yang sangat berat agar bisa tetap menjejak tanah. Terlebih lagi, di filmnya Olive digambarkan lebih tua daripada di bukunya (mungkin agak mencemaskan ya, jika anak kecil diperlihatkan bermain-main dengan api). Olive itu yang muncul di sampul depan buku pertama loh!

Emma Bloom | http://thepeculiarchildren.wikia.com

Awalnya saya sangat antusias ingin menonton filmnya, karena disutradarai oleh salah satu sutradara favorit saya, Tim Burton. Tapi sekarang saya tidak terlalu bersemangat hendak menontonnya.. mungkin nanti, jika saya memang jadi menonton Miss Peregrine's Home for Peculiar Children, saya akan membahasnya dalam artikel terpisah. Until then, ciao!


Ulasan buku ini saya sertakan dalam tantangan membaca SEVENEVES nomor 5: Buku yang telah diadaptasi ke dalam film atau series, meskipun dua buku sekuelnya belum ada filmnya.

Senin, 19 September 2016

Battle Royale

Pikiran yang pertama muncul dalam benak saya ketika mendengar kata Battle Royale adalah... apakah istilah itu maknanya sama dengan Royal Rumble?

Anyway. Battle Royale yang hendak saya bahas saat ini adalah sebuah novel karya Koushun Takami. Ini novel Jepang yang pertama kali terbit tahun 1999. Novel debut ini, meskipun lumayan kontroversial, laris manis di pasaran, hingga diadaptasi ke format manga dan film layar lebar. Filmnya rilis pada tahun 2000.

Saya sudah terlebih dulu menonton filmnya bertahun-tahun yang lalu sebelum akhirnya sekarang membaca novelnya. Bulan lalu, novel Battle Royale (BR) sempat heboh dibahas di grup PNFI, dan karena Cypress Ruby sangat merekomendasikannya, saya pun jadi penasaran... karena selera kami seringkali serupa.


Saya membeli BR di Periplus online, versi baru terjemahan Bahasa Inggris-nya, dan ketika bukunya tiba, tadinya saya tidak berniat untuk langsung membacanya--agak malas juga melihat jumlah halamannya yang lebih dari 600. Namun, Greeny Onie menularkan semangatnya untuk segera membaca BR. Walhasil kami baca bareng, dan kecepatan baca Onie yang luar biasa membuat saya tercengang dan susah payah menyusulnya :))

Kalau begitu kenapa harus baca bareng? Ya supaya bisa membahasnya dengan seru dong!

Onie bilang ini buku SIAL, begitu mulai baca, sulit untuk dilepaskan. Di pun menumpahkan unek-uneknya di Blog Aksara. Silakan baca kalau kawan-kawan tidak keberatan dengan spoiler.

Jadi... seseru apa sih BR?

Sinopsis

Suatu masa di suatu tempat yang mirip Jepang, pemerintah menyelenggarakan sebuah program yang disebut Battle Royale. Program ini dilangsungkan berkala, dengan partisipan yang dipilih secara acak dari seantero negeri. Partisipannya adalah murid-murid kelas 9 (usia sekitar 15 tahun). Dalam program ini, mereka diharuskan saling bunuh hingga tersisa satu orang pemenang.

Pada program BR kali ini, kelas yang terpilih adalah Kelas B Shiroiwa Junior High School. Muridnya berjumlah 42 orang; 21 laki-laki dan 21 perempuan. Mereka sedang dalam perjalanan study tour ketika bis yang mereka naiki diberi gas tidur. Saat terbangun, mereka sudah berada di sebuah pulau kosong yang khusus disiapkan sebagai arena BR.

Kaget. Syok. Takut.
Apa yang anak-anak itu rasakan tidak cukup dideskripsikan dengan kata-kata. Bagaimana bisa? Bagaimana perasaanmu jika diharuskan membunuh sahabatmu sendiri, atau kekasihmu sendiri?

Mau mencoba kabur?
Tidak bisa, setiap anak dipasangi alat mirip kalung choker di leher mereka, yang fungsinya melacak posisi dan kondisi vital. Tidak hanya itu, choker tersebut dilengkapi bom yang bisa meledak jika pemakainya memasuki zona terlarang. Jika dalam waktu 24 jam tidak ada yang mati, semua choker akan meledak, dan tidak ada pemenang. Sejumlah tentara bersenjata mengawasi berjalannya program BR. Di keempat penjuru mata angin bersiap kapal yang akan menembak siapa saja yang mencoba kabur lewat laut.

Setiap anak diberi tas yang berisi senjata dan perbekalan (air minum dan roti) untuk dua hari. Senjatanya bervariasi, dan dibagikan secara acak. Jika beruntung, bisa dapat senjata api. Kalau tidak beruntung, bisa dapat pedang karatan.

Pokoknya, anak-anak remaja ini benar-benar dipaksa untuk saling bunuh.

24 players, 1 winner.
Place your bet.
Let the game begins...

fanart

Tokoh-tokoh

Shuya Nanahara (M15)

Tokoh utama buku ini. Memiliki hati pemberontak, tapi bersifat lembek dan naif. Pemberontakan yang dia lakukan hanya sebatas mendengarkan dan memainkan musik rock yang saat itu dilarang. Shuya anak yatim piatu dan tinggal di panti asuhan, di mana dia bertemu dan bersahabat dengan Yoshitoki Kuninobu (M7). Sebelum berkecimpung di dunia musik, Shuya adalah atlet bisbol andalan. Dia lincah, larinya cepat dan lemparannya akurat.



Noriko Nakagawa (F15)
Siswi yang pandai menulis puisi. Shuya bertekad untuk melindungi Noriko karena Yoshitoki naksir gadis ini. terlihat jelas Noriko sebenarnya naksir Shuya, tapi Shuya terlalu bebal untuk menyadarinya. Noriko dari luar terlihat lembek, tapi dia sebenarnya bermental kuat, tidak mudah mengeluh, dan akan melakukan apa yang harus dilakukan untuk bertahan hidup.


Shogo Kawada (M5)
Siswa misterius yang perawakan dan tampangnya sangar. Dia siswa pindahan yang tinggal kelas satu tahun, katanya gara-gara lama dirawat di rumah sakit. Penampakannya yang mirip preman membuat anak-anak lainnya tidak berani mendekati dia. Namun Shuya, yang pernah sedikit mengobrol dengan Shogo, menilai dia orang baik.

Kazuo Kiriyama (M6)
Siswa dengan penampilan, kepandaian, dan kelihaian tingkat tinggi yang menjadi ketua genk anak nakal hanya karena dia pikir itu hal yang menarik. Kazuo memiliki segalanya kecuali emosi. Dengan raut wajah datar dan sorot mata dingin, dia akan mengambil keputusan secara acak, salah satunya keputusan untuk berpartisipasi aktif dalam program BR.

Mitsuko Souma (F11)
Gadis cantik yang cocok jadi aktris watak. Dia bisa mengeluarkan air mata kapan saja dia mau, dan memasang tampang polos untuk memperdaya orang lain. Setelah mendapatkan kepercayaan seseorang, Mitsuko tidak akan berpikir dua kali untuk berkhianat dan menghabisi orang tersebut.

Takako Chigusa (F13)
Atlet lari ini satu-satunya gadis yang kecantikannya dapat menandingi kecantikan Mitsuko. Takako berpendirian kuat dan bersifat keras. Dia diam-diam naksir sahabatnya sejak kecil, tapi terlalu arogan untuk mengakuinya.

Hiroki Sugimura (M11)
Sahabat sejak kecil Takako. Orangnya pendiam dan jago beladiri kempo. Dia pernah naksir Takako, tapi merasa rendah diri dan berpikir gadis itu standarnya terlalu tinggi.

Shinji Mimura (M19)
Siswa playboy yang pernah menjadi atlet bola basket andalan. Dia berkawan baik dengan Shuya. Meskipun sikapnya cuek dan santai, sebenarnya dia memendam kebencian mendalam terhadap pemerintah. Dia juga cerdas dan jago komputer.

Kedelapan siswa-siswi ini mendapat porsi cerita yang cukup besar dalam Battle Royale, sedangkan ke-34 siswa lainnya hanya mendapatkan porsi kecil, tapi tetap diceritakan latar belakangnya.

Fanart by Akamatsu Yoshio

Kesan

Secara keseluruhan, saya memberi buku ini rating 4 bintang.


Berhubung saya sudah menonton filmnya, saya jadi sudah lebih dulu tahu jalan besar ceritanya, siapa saja yang mati, dengan cara mati seperti apa. Tidak ada lagi kejutan. Tapi tetap saya cukup terkesan dengan detail dan cara cerita disampaikan. Emosi dan chemistry antar tokoh terasa, bahkan di beberapa bagian terkesan berlebihan alias lebay.

Kelas B Shiroiwa High School

Adaptasi Film

Seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya, adaptasi film BR rilis tahun 2000, tidak beda jauh dengan waktu perilisan bukunya. Film BR cukup setia terhadap bukunya, dengan beberapa detail yang dihilangkan (masuk akal, mengingat keterbatasan durasi film) dan beberapa detail yang berbeda, yang sepertinya bertujuan untuk membuat filmnya lebih dramatis (dan konyol). Misalnya, di versi buku Shuya mendapat senjata berupa pisau, sedangkan di versi film dia mendapat... tutup panci!


Satu perbedaan yang cukup besar adalah pada tokoh pengawas program BR saat cerita ini berlangsung. Di versi buku, pengawasnya adalah pria vulgar nan menyebalkan bernama Sakamochi, sedangkan di versi film, yang menjadi pengawas adalah Kitano yang diperankan oleh Beat Takeshi. Kitano adalah mantan wali kelas B Shiroiwa Junior High School. Dia sering diremehkan oleh murid-muridnya (kecuali Noriko), sehingga dia mendendam.


Saya bertanya-tanya mengapa tokoh yang seharusnya ditakuti ini malah diperankan oleh Beat Takeshi yang seorang komedian? Kan saya jadi tertawa-tawa setiap kali melihat wajahnya, karena teringat acara kompetisi Benteng Takeshi... hahaha.

Mungkin Koushun Takami nge-fans atau berhubungan baik dengan Beat Takeshi. Di bagian belakang buku, Koushun menjawab beberapa pertanyaan dari penerbit, dan dalam salah satu jawabannya dia menyebut-nyebut nama Beat Takeshi. Ucapan Beat Takeshi tentang Jepang yang dia anggap sebagai negeri dengan "successful socialism" menginspirasi Koushun untuk membuat kisah berlatar belakang negeri dengan "successful facism."

Akhir kata, saya merekomendasikan buku Battle Royale untuk dibaca sebelum menonton filmnya. Dengan demikian, keseruan dan ketegangannya akan lebih terasa.

If only these four guys can team up...

Battle Royale saya ikutkan dalam tantangan membaca SEVENEVES no.12: buku bantal dengan ketebalan min. 500 hal. Buku ini tepatnya berjumlah 647 halaman. Tadinya saya hendak membaca Abarat: Absolute Midnight untuk menggenapi kategori ini, tapi ternyata lebih dulu baca Battle Royale :) Kalau mau tahu lebih banyak tentang SEVENEVES, bisa lihat tulisannya Mas Jun, tulisannya Mbak Mary, atau master post saya, siapa tahu jadi tertarik untuk ikutan juga.

Selasa, 13 September 2016

Trilogi The Looking Glass Wars

Alice's Adventure in Wonderland dan Through The Looking Glass karya Lewis Carroll adalah salah satu kisah klasik yang saya suka. Dan tampaknya banyak orang juga yang suka, karena kisah ini telah diadaptasi ke dalam berbagai format dan menginspirasi berbagai karya. Salah satunya yang paling saya suka adalah game Alice Madness Returns, di mana kisah Alice disorot lewat lensa horor.

Alice juga dikisahkan ulang dalam beberapa novel modern, di antaranya dalam trilogi Splintered karya AG Howard dan trilogi The Looking Glass Wars karya Frank Beddor. Yang sudah tuntas saya baca, dan akan saya bahas di sini, adalah judul yang kedua.



 
Dalam The Looking Glass Wars, Wonderland adalah sebuah dunia lain yang paralel dengan dunia manusia (Bumi). Di Wonderland, imajinasi adalah segalanya. Semakin kuat imajinasimu, semakin berkuasalah kamu.

Jangan membayangkan Wonderland yang unyu-unyu, karena dunia ciptaan Frank Beddor ini sarat benda-benda berteknologi tinggi. Penduduk Wonderland memiliki imajinasi yang jauh lebih tinggi daripada penduduk Bumi, jadi teknologi mereka pun maju lebih cepat. Saya sendiri susah membayangkan teknologi yang disebutkan... untungnya, ada ilustrasi-ilustrasi dalam buku ini.


Wonderland dipimpin oleh Keluarga Heart, tepatnya Ratu Genevieve. Dia memiliki seorang putri bernama Alyss, yang nantinya akan naik takhta menggantikan sang Ratu. Namun sebenarnya Genevieve memiliki kakak perempuan, Redd (Rose) Heart yang diasingkan dari ibu kota kerajaan karena dia penganut aliran Imajinasi Hitam. Dalam masa pengasingannya, Redd menghimpun pasukan dan menyusun rencana untuk membunuh Genevieve dan Alyss untuk kemudian mengambil alih takhta. Rencana Redd nyaris berhasil dengan sempurna, kecuali bahwa Alyss berhasil kabur bersama Hatter Madigan ke Bumi.

Buku pertama trilogi The Looking Glass Wars kisahnya berpusat pada perjuangan Alyss dan segelintir tokoh-tokoh pendukung Imajinasi Putih menggulingkan Redd dari takhta Wonderland.

Plotnya lumayan datar, mudah ditebak, tidak ada twist. Ada sedikit unsur roman, antara Alyss dan Dodge, salah satu pengawal kerajaan. Tapi mungkin karena penulisnya pria, romance chemistry-nya sangat tidak terasa... Saya membandingkannya dengan Splintered yang ditulis oleh wanita, dan kisah cinta di situ lebay sekali menurut saya.


Dalam buku kedua, Seeing Redd, gantian Redd yang berusaha menggulingkan Alyss dari takhta Wonderland. Kali ini Redd berkoalisi dengan Arch, pemimpin Boarderland, negeri tetangganya Wonderland. Tetapi Arch yang menganggap rendah kaum perempuan, dan berprinsip bahwa pemimpin haruslah laki-laki, bukan perempuan, mempunyai agenda tersendiri... dan dia tidak segan-segan mengkhianati Redd ketika ada peluang.


Dalam buku ketiga, Archenemy, Arch berhasil menguasai takhta Wonderland dan Kristal Heart, sumber Imajinasi di seluruh Wonderland (dan juga Bumi). Arch berupaya untuk menyingkirkan Imajinasi untuk selama-lamanya dengan meredam kekuatan Kristal Heart. Mau tak mau Alyss dan Redd bekerjasama untuk mengalahkan Arch.

Secara keseluruhan, saya memberi nilai trilogi ini 3 bintang saja. Karena tidak jelek-jelek amat, tapi juga tidak meninggalkan kesan mendalam. Kalau mau disimpulkan dalam satu kata: DATAR.


Kalau bicara soal karakterisasi... menurut saya tidak ada karakter yang sangat menonjol. Bahkan Alyss dan Redd pun terkesan datar. Hatter Madigan yang digambarkan dengan sangat mengesankan malah terlihat lemah. Dodge yang seharusnya menjadi tokoh pria yang dapat para pembaca perempuan terpesona malah terkesan kekanakan karena dia begitu dikuasai oleh rasa dendam terhadap The Cat Assassin yang telah membunuh ayahnya.

Bisa dibilang saya nyarisss merasa menyesal telah membaca trilogi ini dan membuang-buang waktu yang seharusnya bisa saya gunakan untuk membaca buku-buku lain. Untung ada ilustrasi-ilustrasi berwarna yang menghibur dan memperkaya khazanah saya akan kisah Alice in Wonderland.


Trilogi The Looking Glass Wars saya sertakan dalam tantangan membaca SEVENEVES no.14: buku trilogi. Ini tantangan dari Mary. Jika kawan-kawan berminat ikutan tantangan membaca ini, ayo, masih ada waktu kok :)

Senin, 29 Agustus 2016

Alice Through The Looking Glass

Halo!!!
Semoga kabar baik ya kawan-kawan.
Kali ini saya hendak membahas film yang tempo hari  saya tonton bersama seorang sahabat. Sudah lama sekali kan saya tidak membahas film... hehe.

Jadi, ceritanya, berhubung kemarin hari libur kemerdekaan RI, tadinya saya ingin bermalas-malasan saja di rumah, tapi tiba-tiba seorang sahabat saya (sebut saja dia Noirchat) mengirim pesan dan memberitahukan bahwa film Alice Through The Looking Glass sudah tayang di bioskop. Lebih lanjut, dia mengajak saya nonton bersama.

movies.disney.co.uk

Sesampainya di bioskop 21 (di BIP, alias Empire) jam 12 kurang 15 menit, saya lihat pintu belum dibuka, tapi banyak sekali anak-anak SMA berkerumun di situ. Berhubung saya orangnya malas berada di keramaian, saya pun melipir dulu ke toko buku Books & Beyond. Saya baru kembali ke bioskop setelah jam 12 lebih sedikit, dan astaga...! Antrian beli tiket sudah mengular panjang sekali.

Lalalalala.... saya pun ikut antri, sambil ketar ketir apakah kami akan keburu menonton jadwal film yang jam 12:30. Noirchat terjebak macet, jadi dia baru datang ketika saya sedang mengantri. Dari pelantang suara sudah terdengar pengumuman bahwa pintu studio 6 (studio ditayangkannya Alice) sudah dibuka, dan penonton yang sudah memiliki tiket dihimbau untuk masuk. Saya dan Noirchat cuma bisa ketawa ketiwi sambil pasrah, kalau dapat ya syukur, kalau tidak juga tak apa deh.

Untungnya, kami masih kebagian tiket dan tidak terlalu banyak ketinggalan film yang sudah mulai diputar ketika kami memasuki studio. Yah, ayo kita nonton... kami memulainya dari adegan Alice dan kapalnya terjebak di tengah badai dahsyat dan dikejar-kejar oleh beberapa kapal perompak.

bustle.com

Kapten Wanita, Mengapa Tidak?

Perlu diingat bahwa kisah ini terjadi di Inggris zaman dulu, ketika kaum wanita masih dianggap jauh lebih inferior daripada kaum pria, dan hampir tidak ada wanita yang menjadi kapten sebuah kapal. Alice, yang menjadi kapten Kapal Wonder, kapal kesayangan almarhum ayahnya, diremehkan dan dicemooh oleh banyak orang. Setelah selama 1-2 tahun (saya lupa) berpetualang ke Cina, Alice akhirnya pulang dan harus menghadapi kenyataan bahwa rumah keluarga Liddell sudah disita, dan untuk mendapatkannya kembali dia harus menyerahkan Kapal Wonder. Tentu saja Alice tidak rela.

Alice dan ibunya
Di tengah kegalauannya, Alice melihat seekor kupu-kupu biru nan cantik terbang di sekitarnya. Ketika diamati, Alice yakin bahwa itu adalah Absalom (ingat ulat gendut yang suka mengisap hookah itu?). Alice mengikuti Absolem yang terbang menuju ruang kerja ayah Alice.... dan kemudian terbang menembus cermin besar di atas perapian.

comingsoon.net

Menembus Cermin 

Alice merangkak masuk ke dalam cermin, dan dia pun kembali ke Wonderland. Kalau kau menebak bahwa ada masalah yang harus Alice bereskan di Wonderland, tebakanmu sangat tepat! (Kalau tidak ada masalah nanti filmnya tidak seru dong)

Masalah kali ini berkaitan dengan Mad Hatter dan keluarganya.

Kalau teman-teman sudah menonton Alice's Adventures in Wonderland, mungkin masih ingat bahwa keluarga Mad Hatter (ayah, ibu, dan saudara-saudaranya) dikisahkan tewas dalam serangan Jabberwocky. Namun dalam Through The Looking Glass, Mad Hatter menemukan sesuatu yang membuatnya yakin bahwa sesungguhnya keluarganya masih hidup. Entah mereka ada di mana.

Tidak ada yang percaya Mad Hatter, dan dia pun menjadi lesu serta kehilangan semangat hidup. Seiring hari-hari berlalu, Mad Hatter menjadi semakin pucat dan sakit. Semua orang berharap Alice dapat menolong Mad Hatter, dengan cara kembali ke masa lalu.

disney.wikia.com

Kenapa harus Alice?
Karena, menurut mereka, hanya Alice yang tidak memiliki masa lalu di Wonderland, jadi dia tidak mungkin bertemu dirinya sendiri di masa lalu. Jika seseorang pergi ke masa lalu dan bertemu dirinya sendiri, itu artinya bencana... Bencana! Kalian akan lihat sendiri nanti seperti apa.

Memutar Balik Waktu

Untuk kembali ke masa lalu, Alice harus mendatangi Waktu dan meminjam suatu alat darinya.

thesaint-online.com

Uniknya, Waktu di sini dipersonifikasikan menjadi seorang pria eksentrik dan narsistik. Dia tokoh favorit di sini... Mad Hatter lewat deh. Celetukan-celetukan Waktu sukses bikin ketawa ngakak, meskipun kalau direnungkan, itu bukan sekadar omong kosong, banyak nasehat yang bisa kita ambil. Salah satunya adalah ini:

Kamu tidak bisa mengubah masa lalu, tapi kamu bisa belajar dari masa lalu.

Hmmm... saya rasa sebaiknya saya tidak membeberkan ceritanya terlalu banyak, nanti kalian nontonnya jadi tidak seru. Walaupun yaaaahhhh... jalan ceritanya mudah ditebak sih. Saya tidak mau mengkritisi, karena saya menonton hanya untuk bersenang-senang.

Akting Standar

Sebenarnya sedih sih, melihat Johnny Depp, Anne Hathaway, dan Mia Wasikowska aktingnya biasa-biasa saja di film ini. They can actually do so much more. Mungkin memang film Alice tidak menuntut hal itu, karena yang saya amati, film ini lebih menjual special effects daripada akting para pemainnya. Saya sarankan untuk tidak berharap banyak agar tidak kecewa *w*

zap2it.com

Keluarga 

Alice Through The Looking Glass adalah salah satu dari sekian banyak kisah yang menekankan pentingnya keluarga. Saya memang meyakini hal ini, jadi bagaikan diingatkan kembali saja. Yang dibahas di sini bukan hanya hubungan antara Mad Hatter dan keluarganya, tapi juga hubungan persaudaraan antara White Queen dan Red Queen. Pertengkaran antar saudara kandung memang wajar terjadi, tapi hal itu akan jadi menyebalkan jika dampaknya membuat banyak orang menderita.

ohmy.disney.com

Akhir kata, walaupun Alice's Adventures in Wonderland dan Through The Looking Glass adalah film-film yang menghibur, saya tidak mengharapkan ada film lanjutannya. Saya malah berharap kisah Alice yang diadaptasi menjadi game Alice McGee dan Alice Madness Returns-lah yang diangkat ke layar lebar. Banyak aspek Wonderland yang bisa dieksplorasi, menurut saya... dan berbagai adaptasi kisah klasik karya Lewis Carroll ini masih akan menarik minat saya hingga entah kapan.

alice.wikia.com
www.abramsandchronicle.co.uk
Ini trilogi yang saat ini sedang saya baca...

sffbookreview.wordpress.com