Senin, 29 Februari 2016

Going Solo

Roald Dahl adalah seorang penulis buku anak-anak yang amat populer di seluruh dunia. Karya-karyanya telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, dan sebagian telah diangkat ke layar lebar, seperti Matilda, The Fantastic Mr. Fox, serta Charlie and The Chocolate Factory. Seperti apa sosok Roald Dahl sebenarnya? Para pembaca bisa mencari tahu lewat dua buku autobiografinya: Boy: Tales of Childhood, dan Going Solo.

Dalam tulisan kali ini saya akan membahas tentang Going Solo.



Boy, seperti judulnya, menceritakan masa kanak-kanak Roald Dahl. Dia mengaku dirinya bocah badung dengan segudang ide jail. Tapi seperti semua orang, dia tumbuh dewasa, dan berhasil diterima kerja di Shell Company, perusahaan minyak yang kemudian mengirimnya ke Afrika.

Going Solo dimulai dengan cerita perjalanan laut Roald Dahl dari Inggris ke Afrika, tepatnya ke Dar es Salaam. Perjalanan itu memakan waktu berhari-hari, dan selama di kapal Dahl bertemu dengan beberapa orang--emm--unik yang menetap lama dalam ingatannya. Salah satunya adalah pria yang satu kamar dengannya, yang pura-pura punya masalah dengan ketombe, hanya untuk menyembunyikan fakta bahwa dia sebenarnya memakai rambut palsu sepanjang waktu.



Selamat Datang di Afrika!

Di Afrika, hidup Dahl cukup santai dan menyenangkan. Dia tinggal di rumah dinas yang terbilang cukup besar bersama dua rekannya, dan punya seorang asisten pribadi yang mengerjakan segala pekerjaan rumah tangganya, seperti mencuci dan menyetrika pakaian. Selama di Dar es Salaam, Dahl harus belajar menggunakan Bahasa Swahili, karena penduduk pribumi tidak bisa berbahasa Inggris.

Ternyata yang menjadi ancaman paling menakutkan di Afrika adalah ular mamba hitam dan hijau. Mereka sangat mematikan. Dahl menceritakan dua kali pengalamannya menyaksikan sendiri manusia berhadapan dengan ular mamba dan berhasil lolos dari maut. Keduanya menegangkan sekali.

Selain peristiwa dengan ular, ada juga satu insiden terkait singa yang mencaplok seorang istri juru masak! Ini terdengar mengerikan, tapi yang terjadi sesungguhnya cukup lucu. Saya tidak mau menceritakan lebih jauh agar kawan-kawan merasakan sendiri ketegangan dan kelucuannya saat membaca buku ini ^^.

Halo, Perang Dunia II

Perang ada, salah satunya agar umat manusia bisa lebih menghargai damai. Walau begitu, tetap saja saya membenci perang. Sangat benci. Namun yang sudah terjadi, biarlah jadi pelajaran untuk masa depan. Saya rasa saya beruntung karena tidak menyaksikan sendiri horor PD II, tapi mungkin saya akan menyaksikan horor PD III. Siapa yang tahu, di dunia yang kacau balau begini?

Roald Dahl adalah salah satu orang yang terlibat langsung dalam PD II. Mungkin dia memiliki jiwa nasionalisme yang kuat, sehingga dia memutuskan untuk bergabung dengan angkatan udara ketika PD II pecah. Perusahaan Shell mendukungnya, bahkan memutuskan untuk tetap memberinya gaji selama dia bertugas militer.


Menuju Angkasa Sarat Marabahaya

Dahl pun bertolak ke Nairobi untuk menjalani pelatihan sebagai pilot. Tinggi badan Dahl sebenarnya tidak ideal sebagai seorang pilot, tapi dia bersikeras untuk menjadi pilot, siap menghadapi berbagai risiko yang menyertainya, termasuk kram kaki gara-gara terlalu lama ditekuk dan kesulitan bernapas karena kepalanya menyembul keluar pesawat.

Pelatihan awal itu berjalan selama 8 bulan, dilanjutkan dengan pelatihan lanjutan selama 6 minggu di Habbaniya, Irak. Perlu diingat bahwa pelatihan ini hanya mencakup pelatihan mengendari pesawat terbang, bukan bertempur menggunakan pesawat terbang. Setelah itu, Dahl dicemplungkan begitu saja ke medan perang.

Sendirian, Dahl diminta bergabung dengan skuadron 80 yang lokasi markasnya berpindah-pindah. Dia diberi tahu titik koordinat terkini markas tersebut dan diminta langsung terbang ke sana. Tanpa alat komunikasi, Dahl terbang melintasi padang pasir Mesir untuk mencari lokasi markas skuadron 80. Malangnya, perjalanan itu berujung kecelakaan yang membuat Dahl harus dirawat di rumah sakit selama 4 bulan dan dia nyaris kehilangan indra penglihatannya.

Misi Bunuh Diri?

Setelah dinyatakan sehat dan layak mengemudikan pesawat lagi, Dahl pun berhasil bergabung dengan skuadron 80. Pada saat itu lokasi markas mereka di Yunani, dan hanya ada 15 pesawat (16, jika ditambah pesawatnya Dahl) yang diharapkan dapat melawan ratusan pesawat tempur dan pesawat pengebom milik Italia dan Jerman. Peluang untuk bertahan hidup amat kecil.

Dari 16 pilot pesawat tempur Inggris yang ditugaskan di Yunani, nyaris semuanya tewas, dan Roald Dahl adalah satu orang yang berhasil selamat... itu pun tidak dengan utuh.

Pengalaman Roald Dahl menjadi pilot tempur skuadron 80 sangatlah seru dan menegangkan untuk diikuti. Saya dibuat geleng-geleng kepala dan pada akhirnya begitu terharu karena Dahl berhasil selamat dari itu semua. Syukurlah dia selamat, dan menjadi penulis yang karya-karyanya bisa kita nikmati hingga saat ini.

Pulang

Kata "pulang" memiliki makna yang sangat dalam, terutama bagi orang-orang yang berada jauh dari rumah dan keluarga. PD II belum berakhir ketika Dahl dibebastugaskan sebagai pilot pesawat tempur dan dikirim pulang ke Inggris. Pada saat itu, sudah tiga tahun Dahl berpisah dari keluarganya, dan dia tidak dapat memberi kabar terlebih dulu bahwa dia akan pulang. Dia tidak tahu bahwa rumah keluarganya telah dibom, dan bahwa keluarganya telah pindah ke desa.

Walaupun diliputi berbagai kecemasan, Dahl akhirnya berhasil pulang ke pelukan ibunda yang telah dengan sabar menanti putra kesayangannya.


Catatan Kaki Sang Ratu Es

Going Solo tak diragukan lagi adalah buku wajib baca bagi para penggemar karya Roald Dahl. Autobiografi ini, meskipun peristiwa-peristiwa di dalamnya menegangkan dan bisa dibilang juga mengerikan, disajikan dalam prosa yang ringan dan mudah dicerna. Ditambah dengan foto-foto hitam putih, pembaca jadi semakin ikut merasakan semua yang dialami Roald Dahl saat itu. Di dalam saat-saat mencekam sekalipun, Dahl masih dapat mensyukuri semua pengalaman yang didapatnya. Masa mudanya penuh tantangan, dan itu semua, pada masa tuanya, dia tuangkan dengan apik dalam berbagai karyanya untuk anak-anak. Terima kasih Roald Dahl atas kontribusi besarmu dalam dunia perbukuan.

Going Solo karya Roald Dahl saya ikutkan sebagai tantangan membaca SEVENEVES no.11: Buku nonfiksi yang merupakan pengalaman penulisnya. Lebih lanjut tentang SEVENEVES bisa lihat tulisan saya di sini.


Kamis, 25 Februari 2016

Crimson Peak - Mansion di Atas Tanah Merah

Selamat Hari #KamisHoror :)
Kali ini saya akan membahas salah satu film horor yang sudah cukup lama rilis, dan sudah tidak tayang lagi di bioskop. Judulnya adalah Crimson Peak.

Pertama kali saya tahu Crimson Peak adalah lewat serangkaian poster film yang muncul di situs impawards.com. Saya suka dengan desain posternya, yang menampilkan keempat tokoh utama dalam film tersebut.

Sumber: impawards.com
Yang paling menarik perhatian saya adalah Mia Wasikowska, yang telah membuat saya jatuh cinta dengan aktingnya sebagai seorang psikopat di film Stoker.
Terhadap Tom Hiddleston saya biasa-biasa saja, walaupun perannya sebagai bad guy Loki sudah membius banyak orang, terutama kaum wanita.
Jessica Chastain namanya sering saya dengar, tapi saya lupa film apa saja yang dia bintangi dan pernah saya tonton. Hmmm... Apakah Tall Man? Oh, itu Jessica Biel :p
Charlie Hunnam namanya belum pernah saya dengar, tapi wajahnya nampak familier.

Begitu Crimson Peak mulai tayang di bioskop, saya antusias untuk menontonnya, bahkan sudah mengajak suami untuk nonton malam-malam. Tapi apa daya, waktunya tidak ada yang pas dan saya pun batal menonton film ini di layar lebar.

Kenyataannya, saya kemudian malah menonton film ini di layar yang jauh lebih kecil... yaitu layar ponsel -_- Saya menontonnya belum lama ini secara streaming di sebuah situs yang direkomendasikan oleh adik saya.

Alur cerita Crimson Peak sebenarnya mudah ditebak, tapi saya tetap menontonnya dari awal sampai akhir karena saya suka dengan atmosfer yang disajikan. Lokasi-lokasinya, kostum-kostum yang digunakan, bahkan penampakan hantu-hantunya. Secara keseluruhan, saya memberi Crimson Peak 3/5 bintang.


Gadis Kesayangan Papa

Dalam Crimson Peak, Mia memerankan seorang gadis bernama Edith Cushing, putri tunggal seorang pengusaha kaya raya. Ibunya meninggal saat Edith masih kecil, gara-gara sakit black fever. Edith kecil sempat didatangi oleh arwah sang ibu, yang memberinya sebuah peringatan: "Beware of Crimson Peak." Tapi peringatan itu tentu saja tak bermakna apa-apa bagi Edith kecil yang sedang ketakutan setengah mati.

Sumber: blackroomsociety.com

Singkatnya, Edith tumbuh menjadi gadis muda cantik nan cerdas. berbeda dengan gadis-gadis lain seusianya yang gemar berdandan dan berdansa, Edith suka menulis. Dan kisah yang dia tulis adalah kisah hantu, padahal editornya menginginkan kisah cinta.

Ada dokter muda yang sepertinya naksir Edith, namanya Dr. Alan McMichael (diperankan oleh Charlie Hunnam), tapi ibu sang dokter tidak menyukai Edith.

Bangsawan Misterius nan Menawan

Suatu hari datanglah seorang pria bangsawan dari Inggris, bernama Sir Thomas Sharpe (diperankan oleh Tom Hiddleston), yang ditemani oleh kakak perempuannya, Lucille Sharpe (diperankan oleh Jessica Chastain). Sharpe datang ke Amerika mencari sponsor untuk membiayai usaha tambang tanah merahnya). Sharpe adalah seorang penemu, visionaris, tapi dia dianggap tidak memiliki kecakapan dalam berbisnis, dan permintaan sponsornya pun ditolak oleh Mr. Cushing.

Tak habis akal, Thomas Sharpe mendekati putri semata wayang Mr. Cushing. Dengan tampang rupawan dan karakter misterius, tidak sulit bagi Sharpe untuk menarik perhatian Edith. Ditambah lagi dengan memberikan perhatian lebih terhadap tulisan-tulisan gadis muda itu. Segera saja Edith jatuh cinta pada Thomas Sharpe.

Sumber: hitfix.com

Udang di Balik Batu

Sebagai seorang gadis cerdas, sungguh mengherankan Edith bisa dengan mudah terjerat pesona Sharpe. Tapi mungkin cinta memang buta.

Sejak awal penonton pasti sudah bisa menebak ada tujuan sebenarnya Thomas Sharpe mendekati Edith. Ya, tentu saja uang! Dan jika sang ayah tiada, tentu semua harta kekayaan keluarga Cushing jatuh ke tangan Edith.
Bukan sesuatu yang sulit ditebak juga bahwa ada yang tidak beres dengan kakak beradik Sharpe. Tapi sejauh apa kebusukan mereka, tidak akan saya sebutkan. Yang jelas itu membuat saya sangat muak.

Mansion di Atas Tanah Merah

Singkatnya, Edith menikahi Thomas Sharpe, lalu diboyong ke Inggris untuk tinggal di Allerdale Hall. Bangunan yang dulunya megah ini sekarang telah membusuk (sama seperti para penghuninya), dan Edith heran bagaimana cara Thomas dan Lucille merawatnya selama ini. Namun Edith bertekad untuk menghadirkan kehangatan dan cinta di rumah barunya ini. Sebuah tugas yang pastinya akan amat sangat berat.

Sumber: theatlantic.com

Tak butuh waktu lama bagi Edith untuk berhadapan dengan horor yang menghantui Allerdale Hall. Tengah malam dia tiba-tiba terbangun, dan karena Thomas tidak ada di sisinya, dia menyusuri koridor demi koridor untuk mencari sang suami. Tapi yang dia temukan malah sosok hantu menyeramkan yang mengejar-ngejarnya.

Di Allerdale Hall, kesehatan Edith perlahan-lahan menurun. Musim dingin menjelang, dan suatu hari Edith mengetahui fakta mengejutkan bahwa Alledarle Hall juga sering disebut sebagai Crimson Peak, karena pada musim dingin, salju yang turun akan menyerap warna merah tanahnya.

Antara Cinta dan Obsesi

Pada akhirnya, yang menjadi alasan kuat di balik tindakan seseorang, sesinting apa pun tindakan itu, biasanya adalah cinta. Atau obsesi... cinta yang berlebihan. Thomas Sharpe terobsesi pada alat-alat ciptaannya, sehingga nyaris tidak menyadari cinta sejati yang dia rasakan terhadap Edith. Lucille terobsesi pada adiknya sendiri, dan keinginan untuk merasa dibutuhkan. Alan melakukan tindakan heroik didorong oleh rasa cintanya yang tulus pada Edith.

Sedangkan Edith sendiri... entahlah apakah dia benar-benar mencintai Thomas Sharpe, atau hanya terpesona pada karakternya yang mirip dengan tokoh pria yang mungkin dapat dia temui di dalam kisah-kisah roman. Mungkin pada akhirnya dia terbangun dari fantasinya dan menyadari bahwa ketertarikan pada sesuatu yang misterius bisa mengarah pada tragedi dan kematian.

"Ghosts are real, that much I know."
--Edith Cushing

Sumber: theghostdiaries.com