Senin, 19 September 2016

Battle Royale

Pikiran yang pertama muncul dalam benak saya ketika mendengar kata Battle Royale adalah... apakah istilah itu maknanya sama dengan Royal Rumble?

Anyway. Battle Royale yang hendak saya bahas saat ini adalah sebuah novel karya Koushun Takami. Ini novel Jepang yang pertama kali terbit tahun 1999. Novel debut ini, meskipun lumayan kontroversial, laris manis di pasaran, hingga diadaptasi ke format manga dan film layar lebar. Filmnya rilis pada tahun 2000.

Saya sudah terlebih dulu menonton filmnya bertahun-tahun yang lalu sebelum akhirnya sekarang membaca novelnya. Bulan lalu, novel Battle Royale (BR) sempat heboh dibahas di grup PNFI, dan karena Cypress Ruby sangat merekomendasikannya, saya pun jadi penasaran... karena selera kami seringkali serupa.


Saya membeli BR di Periplus online, versi baru terjemahan Bahasa Inggris-nya, dan ketika bukunya tiba, tadinya saya tidak berniat untuk langsung membacanya--agak malas juga melihat jumlah halamannya yang lebih dari 600. Namun, Greeny Onie menularkan semangatnya untuk segera membaca BR. Walhasil kami baca bareng, dan kecepatan baca Onie yang luar biasa membuat saya tercengang dan susah payah menyusulnya :))

Kalau begitu kenapa harus baca bareng? Ya supaya bisa membahasnya dengan seru dong!

Onie bilang ini buku SIAL, begitu mulai baca, sulit untuk dilepaskan. Di pun menumpahkan unek-uneknya di Blog Aksara. Silakan baca kalau kawan-kawan tidak keberatan dengan spoiler.

Jadi... seseru apa sih BR?

Sinopsis

Suatu masa di suatu tempat yang mirip Jepang, pemerintah menyelenggarakan sebuah program yang disebut Battle Royale. Program ini dilangsungkan berkala, dengan partisipan yang dipilih secara acak dari seantero negeri. Partisipannya adalah murid-murid kelas 9 (usia sekitar 15 tahun). Dalam program ini, mereka diharuskan saling bunuh hingga tersisa satu orang pemenang.

Pada program BR kali ini, kelas yang terpilih adalah Kelas B Shiroiwa Junior High School. Muridnya berjumlah 42 orang; 21 laki-laki dan 21 perempuan. Mereka sedang dalam perjalanan study tour ketika bis yang mereka naiki diberi gas tidur. Saat terbangun, mereka sudah berada di sebuah pulau kosong yang khusus disiapkan sebagai arena BR.

Kaget. Syok. Takut.
Apa yang anak-anak itu rasakan tidak cukup dideskripsikan dengan kata-kata. Bagaimana bisa? Bagaimana perasaanmu jika diharuskan membunuh sahabatmu sendiri, atau kekasihmu sendiri?

Mau mencoba kabur?
Tidak bisa, setiap anak dipasangi alat mirip kalung choker di leher mereka, yang fungsinya melacak posisi dan kondisi vital. Tidak hanya itu, choker tersebut dilengkapi bom yang bisa meledak jika pemakainya memasuki zona terlarang. Jika dalam waktu 24 jam tidak ada yang mati, semua choker akan meledak, dan tidak ada pemenang. Sejumlah tentara bersenjata mengawasi berjalannya program BR. Di keempat penjuru mata angin bersiap kapal yang akan menembak siapa saja yang mencoba kabur lewat laut.

Setiap anak diberi tas yang berisi senjata dan perbekalan (air minum dan roti) untuk dua hari. Senjatanya bervariasi, dan dibagikan secara acak. Jika beruntung, bisa dapat senjata api. Kalau tidak beruntung, bisa dapat pedang karatan.

Pokoknya, anak-anak remaja ini benar-benar dipaksa untuk saling bunuh.

24 players, 1 winner.
Place your bet.
Let the game begins...

fanart

Tokoh-tokoh

Shuya Nanahara (M15)

Tokoh utama buku ini. Memiliki hati pemberontak, tapi bersifat lembek dan naif. Pemberontakan yang dia lakukan hanya sebatas mendengarkan dan memainkan musik rock yang saat itu dilarang. Shuya anak yatim piatu dan tinggal di panti asuhan, di mana dia bertemu dan bersahabat dengan Yoshitoki Kuninobu (M7). Sebelum berkecimpung di dunia musik, Shuya adalah atlet bisbol andalan. Dia lincah, larinya cepat dan lemparannya akurat.



Noriko Nakagawa (F15)
Siswi yang pandai menulis puisi. Shuya bertekad untuk melindungi Noriko karena Yoshitoki naksir gadis ini. terlihat jelas Noriko sebenarnya naksir Shuya, tapi Shuya terlalu bebal untuk menyadarinya. Noriko dari luar terlihat lembek, tapi dia sebenarnya bermental kuat, tidak mudah mengeluh, dan akan melakukan apa yang harus dilakukan untuk bertahan hidup.


Shogo Kawada (M5)
Siswa misterius yang perawakan dan tampangnya sangar. Dia siswa pindahan yang tinggal kelas satu tahun, katanya gara-gara lama dirawat di rumah sakit. Penampakannya yang mirip preman membuat anak-anak lainnya tidak berani mendekati dia. Namun Shuya, yang pernah sedikit mengobrol dengan Shogo, menilai dia orang baik.

Kazuo Kiriyama (M6)
Siswa dengan penampilan, kepandaian, dan kelihaian tingkat tinggi yang menjadi ketua genk anak nakal hanya karena dia pikir itu hal yang menarik. Kazuo memiliki segalanya kecuali emosi. Dengan raut wajah datar dan sorot mata dingin, dia akan mengambil keputusan secara acak, salah satunya keputusan untuk berpartisipasi aktif dalam program BR.

Mitsuko Souma (F11)
Gadis cantik yang cocok jadi aktris watak. Dia bisa mengeluarkan air mata kapan saja dia mau, dan memasang tampang polos untuk memperdaya orang lain. Setelah mendapatkan kepercayaan seseorang, Mitsuko tidak akan berpikir dua kali untuk berkhianat dan menghabisi orang tersebut.

Takako Chigusa (F13)
Atlet lari ini satu-satunya gadis yang kecantikannya dapat menandingi kecantikan Mitsuko. Takako berpendirian kuat dan bersifat keras. Dia diam-diam naksir sahabatnya sejak kecil, tapi terlalu arogan untuk mengakuinya.

Hiroki Sugimura (M11)
Sahabat sejak kecil Takako. Orangnya pendiam dan jago beladiri kempo. Dia pernah naksir Takako, tapi merasa rendah diri dan berpikir gadis itu standarnya terlalu tinggi.

Shinji Mimura (M19)
Siswa playboy yang pernah menjadi atlet bola basket andalan. Dia berkawan baik dengan Shuya. Meskipun sikapnya cuek dan santai, sebenarnya dia memendam kebencian mendalam terhadap pemerintah. Dia juga cerdas dan jago komputer.

Kedelapan siswa-siswi ini mendapat porsi cerita yang cukup besar dalam Battle Royale, sedangkan ke-34 siswa lainnya hanya mendapatkan porsi kecil, tapi tetap diceritakan latar belakangnya.

Fanart by Akamatsu Yoshio

Kesan

Secara keseluruhan, saya memberi buku ini rating 4 bintang.


Berhubung saya sudah menonton filmnya, saya jadi sudah lebih dulu tahu jalan besar ceritanya, siapa saja yang mati, dengan cara mati seperti apa. Tidak ada lagi kejutan. Tapi tetap saya cukup terkesan dengan detail dan cara cerita disampaikan. Emosi dan chemistry antar tokoh terasa, bahkan di beberapa bagian terkesan berlebihan alias lebay.

Kelas B Shiroiwa High School

Adaptasi Film

Seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya, adaptasi film BR rilis tahun 2000, tidak beda jauh dengan waktu perilisan bukunya. Film BR cukup setia terhadap bukunya, dengan beberapa detail yang dihilangkan (masuk akal, mengingat keterbatasan durasi film) dan beberapa detail yang berbeda, yang sepertinya bertujuan untuk membuat filmnya lebih dramatis (dan konyol). Misalnya, di versi buku Shuya mendapat senjata berupa pisau, sedangkan di versi film dia mendapat... tutup panci!


Satu perbedaan yang cukup besar adalah pada tokoh pengawas program BR saat cerita ini berlangsung. Di versi buku, pengawasnya adalah pria vulgar nan menyebalkan bernama Sakamochi, sedangkan di versi film, yang menjadi pengawas adalah Kitano yang diperankan oleh Beat Takeshi. Kitano adalah mantan wali kelas B Shiroiwa Junior High School. Dia sering diremehkan oleh murid-muridnya (kecuali Noriko), sehingga dia mendendam.


Saya bertanya-tanya mengapa tokoh yang seharusnya ditakuti ini malah diperankan oleh Beat Takeshi yang seorang komedian? Kan saya jadi tertawa-tawa setiap kali melihat wajahnya, karena teringat acara kompetisi Benteng Takeshi... hahaha.

Mungkin Koushun Takami nge-fans atau berhubungan baik dengan Beat Takeshi. Di bagian belakang buku, Koushun menjawab beberapa pertanyaan dari penerbit, dan dalam salah satu jawabannya dia menyebut-nyebut nama Beat Takeshi. Ucapan Beat Takeshi tentang Jepang yang dia anggap sebagai negeri dengan "successful socialism" menginspirasi Koushun untuk membuat kisah berlatar belakang negeri dengan "successful facism."

Akhir kata, saya merekomendasikan buku Battle Royale untuk dibaca sebelum menonton filmnya. Dengan demikian, keseruan dan ketegangannya akan lebih terasa.

If only these four guys can team up...

Battle Royale saya ikutkan dalam tantangan membaca SEVENEVES no.12: buku bantal dengan ketebalan min. 500 hal. Buku ini tepatnya berjumlah 647 halaman. Tadinya saya hendak membaca Abarat: Absolute Midnight untuk menggenapi kategori ini, tapi ternyata lebih dulu baca Battle Royale :) Kalau mau tahu lebih banyak tentang SEVENEVES, bisa lihat tulisannya Mas Jun, tulisannya Mbak Mary, atau master post saya, siapa tahu jadi tertarik untuk ikutan juga.

Selasa, 13 September 2016

Trilogi The Looking Glass Wars

Alice's Adventure in Wonderland dan Through The Looking Glass karya Lewis Carroll adalah salah satu kisah klasik yang saya suka. Dan tampaknya banyak orang juga yang suka, karena kisah ini telah diadaptasi ke dalam berbagai format dan menginspirasi berbagai karya. Salah satunya yang paling saya suka adalah game Alice Madness Returns, di mana kisah Alice disorot lewat lensa horor.

Alice juga dikisahkan ulang dalam beberapa novel modern, di antaranya dalam trilogi Splintered karya AG Howard dan trilogi The Looking Glass Wars karya Frank Beddor. Yang sudah tuntas saya baca, dan akan saya bahas di sini, adalah judul yang kedua.



 
Dalam The Looking Glass Wars, Wonderland adalah sebuah dunia lain yang paralel dengan dunia manusia (Bumi). Di Wonderland, imajinasi adalah segalanya. Semakin kuat imajinasimu, semakin berkuasalah kamu.

Jangan membayangkan Wonderland yang unyu-unyu, karena dunia ciptaan Frank Beddor ini sarat benda-benda berteknologi tinggi. Penduduk Wonderland memiliki imajinasi yang jauh lebih tinggi daripada penduduk Bumi, jadi teknologi mereka pun maju lebih cepat. Saya sendiri susah membayangkan teknologi yang disebutkan... untungnya, ada ilustrasi-ilustrasi dalam buku ini.


Wonderland dipimpin oleh Keluarga Heart, tepatnya Ratu Genevieve. Dia memiliki seorang putri bernama Alyss, yang nantinya akan naik takhta menggantikan sang Ratu. Namun sebenarnya Genevieve memiliki kakak perempuan, Redd (Rose) Heart yang diasingkan dari ibu kota kerajaan karena dia penganut aliran Imajinasi Hitam. Dalam masa pengasingannya, Redd menghimpun pasukan dan menyusun rencana untuk membunuh Genevieve dan Alyss untuk kemudian mengambil alih takhta. Rencana Redd nyaris berhasil dengan sempurna, kecuali bahwa Alyss berhasil kabur bersama Hatter Madigan ke Bumi.

Buku pertama trilogi The Looking Glass Wars kisahnya berpusat pada perjuangan Alyss dan segelintir tokoh-tokoh pendukung Imajinasi Putih menggulingkan Redd dari takhta Wonderland.

Plotnya lumayan datar, mudah ditebak, tidak ada twist. Ada sedikit unsur roman, antara Alyss dan Dodge, salah satu pengawal kerajaan. Tapi mungkin karena penulisnya pria, romance chemistry-nya sangat tidak terasa... Saya membandingkannya dengan Splintered yang ditulis oleh wanita, dan kisah cinta di situ lebay sekali menurut saya.


Dalam buku kedua, Seeing Redd, gantian Redd yang berusaha menggulingkan Alyss dari takhta Wonderland. Kali ini Redd berkoalisi dengan Arch, pemimpin Boarderland, negeri tetangganya Wonderland. Tetapi Arch yang menganggap rendah kaum perempuan, dan berprinsip bahwa pemimpin haruslah laki-laki, bukan perempuan, mempunyai agenda tersendiri... dan dia tidak segan-segan mengkhianati Redd ketika ada peluang.


Dalam buku ketiga, Archenemy, Arch berhasil menguasai takhta Wonderland dan Kristal Heart, sumber Imajinasi di seluruh Wonderland (dan juga Bumi). Arch berupaya untuk menyingkirkan Imajinasi untuk selama-lamanya dengan meredam kekuatan Kristal Heart. Mau tak mau Alyss dan Redd bekerjasama untuk mengalahkan Arch.

Secara keseluruhan, saya memberi nilai trilogi ini 3 bintang saja. Karena tidak jelek-jelek amat, tapi juga tidak meninggalkan kesan mendalam. Kalau mau disimpulkan dalam satu kata: DATAR.


Kalau bicara soal karakterisasi... menurut saya tidak ada karakter yang sangat menonjol. Bahkan Alyss dan Redd pun terkesan datar. Hatter Madigan yang digambarkan dengan sangat mengesankan malah terlihat lemah. Dodge yang seharusnya menjadi tokoh pria yang dapat para pembaca perempuan terpesona malah terkesan kekanakan karena dia begitu dikuasai oleh rasa dendam terhadap The Cat Assassin yang telah membunuh ayahnya.

Bisa dibilang saya nyarisss merasa menyesal telah membaca trilogi ini dan membuang-buang waktu yang seharusnya bisa saya gunakan untuk membaca buku-buku lain. Untung ada ilustrasi-ilustrasi berwarna yang menghibur dan memperkaya khazanah saya akan kisah Alice in Wonderland.


Trilogi The Looking Glass Wars saya sertakan dalam tantangan membaca SEVENEVES no.14: buku trilogi. Ini tantangan dari Mary. Jika kawan-kawan berminat ikutan tantangan membaca ini, ayo, masih ada waktu kok :)